Langkah strategis ini diambil karena Pemerintah Indonesia tidak ingin kehilangan momentum emas untuk menyambut perkembangan industri kendaraan listrik yang akan marak di masa depan.
Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Kementerian ESDM Andri Budhiman Firmanto menjelaskan percepatan aturan larangan ekspor bijih nikel ini dilakukan demi mengejar momentum pengembangan industri kendaraan listrik di Indonesia.
"Momentum seperti ini tidak akan ada dua kali. Jadi ketika momentumnya tepat pemerintah harus antisipasi," kata Andri, seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2019.
Dikhawatirkan Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk bangun industri baterai nasional jika keran ekspor nikel terus dibuka dan industri baterai kendaraan listrik akan didominasi oleh Tiongkok. Padahal bahan bakunya tersedia melimpah di Indonesia.
"Kebijakan ini juga memperhatikan jumlah cadangan terbukti dan jaminan pasokan bijih nikel kadar rendah untuk persiapan percepatan industri mobil listrik yang bisa jadi industri masa depan Indonesia," jelas Andri.
Indonesia Miliki Bahan Baku Nikel Terbaik Dunia
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki bahan baku nikel terbaik di dunia untuk memproduksi baterai lithium ion yang menjadi industri masa depan. Berdasarkan kajian Kemenko Bidang Kemaritiman, sebanyak 40 persen dari total biaya manufaktur mobil listrik adalah baterai.
Cadangan nikel di Indonesia saat ini merupakan yang terbesar di dunia, yakni mencapai 23,7 persen dari seluruh cadangan dunia. Namun, karena minimnya temuan cadangan baru dan meningkatnya kebutuhan nikel setelah 2022, cadangan nikel Indonesia diperkirakan bakal menipis dengan cepat.
Dengan posisi saat ini, cadangan terbukti nikel Indonesia sebesar 698 juta ton hanya menjamin suplai nikel untuk fasilitas pemurnian hanya selama 7,3 tahun. Itu alasan pemerintah memutuskan untuk memajukan larangan ekspor dua tahun lebih awal guna melindungi sisa cadangan nikel yang dimiliki Indonesia.
Andri menjelaskan bahwa moratorium ekspor nikel ini diyakini tidak akan berdampak signifikan pada neraca perdagangan Indonesia. "Pastinya ada dampak. Tapi tidak sebanding dengan manfaat yang akan Indonesia peroleh ke depan," pungkas Andri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News