Thailand memiliki undang-undang yang paling ketat, sementara negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Norwegia telah memberlakukan banyak pembatasan, demikian seperti dilansir dari The Conversation.com, Rabu, 25 September 2019.
Larangan tersebut memang tidak merambat ke Indonesia. Namun, cukup membuat beberapa pelaku industri tidak nyaman. Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) mengatakan akan terus berkoordinasi dengan instansi terkait mengenai kelangsungan vape.
"Asosiasi akan berusaha dan koordinasi dengan instansi terkait seperti BPOM, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Bea Cukai supaya di negara ini (vape) tidak ikut-ikut dilarang," ujar pengurus APVI Yudha Pratama saat dihubungi Medcom.id, Rabu, 25 September 2019.
Penelitian menunjukkan vape mampu membantu perokok konvensional berhenti merokok secara bertahap. Namun, di sisi lain, kehadiran vape membuat orang-orang yang tidak merokok menjadi menjadi perokok karena tergiur rasa vape yang tersedia lebih dari 1.500 rasa.
Dalam sebuah survei terhadap kaum muda AS berusia 12-17, 81 persen pengguna vape melaporkan bahwa mereka tertarik menggunakan vape karena rokok tersebut "menghadirkan rasa yang mereka sukai."
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS dalam rentang 2017 hingga 2018, lebih dari 3,6 juta anak di bawah umur di AS menggunakan vape. Angka ini mengalami lonjakan, yang mana 78 persennya merupakan siswa sekolah menengah atas. Dan di Inggris, 1,6 persen dari mereka yang berusia 11-18 tahun menggunakan vape lebih dari sekali seminggu.
Enzim Berbahaya
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vape bisa menciptakan aerosol dari pemanasan larutan bahan kimia yang kompleks, terdiri dari minyak, perisa, dan nikotin. Partikel-partikel halus yang dilepaskan uap memiliki ukuran dan konsentrasi yang sama dengan asap tembakau sehingga dapat mencapai jauh ke dalam paru-paru. Aerosol disebut beracun bagi sel. Namun, setiap produk memiliki komposisi yang berbeda-beda dalam memicu aerosol.
"Kalau di luar negeri kenapa suka sampai ada yang meninggal, itu karena beberapa orang mencampurnya dengan zat terlarang seperti narkoba. Jadi bukan karena komposisi vape-nya setau saya," kata Yudha.
Pusat Pengendlian Penyakit di Amerika Serikat mengumumkan ada sekitar 530 kasus cedera paru terkait penggunaan vape. Kasus tersebut mengalami kenaikan dibandingkan minggu sebelumnya, yang menyebabkan tujuh orang meninggal dunia.
Melansir BBC, mayoritas mereka yang terkena penyakit paru-paru tersebut memiliki usia rata-rata 19 tahun, yang mana usia tersebut merupaan pasar terbesar AS untuk pengguna vape. Kasus ini kemudian mendorong AS untuk melarang semua jenis rokok elektrik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id