Pengamat ekonomi koperasi Suroto, mengatakan, sudah saatnya Indonesia mendorong berdiri perkebunan rakyat melalui koperasi secara perlahan.
"Bentuk konsesi lahan dengan hak guna usaha yang sekarang ini sudah habis izinnya sebaiknya diberikan kepada masyarakat melalui koperasi," kata Suroto yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), dikutip dari Antara, Minggu (25/12/2016).
Kemudian, kata dia, lahan tersebut dijadikan perkebunan milik rakyat yang dikembangkan dalam pola perkebunan integratif Koperasi Agro-Industri yang potensial memberikan nilai tambah tinggi untuk pasaran dalam dan luar negeri.
"Pengalaman di berbagai daerah walaupun masih dalam skala kecil, seperti di Kalimantan Timur telah berhasil dilakukan penyerahan lahan sawit, karet, kakao, dan lada oleh pemerintah daerah," katanya.
Sedangkan di Kalimantan Barat, satu koperasi K-77 bisa menaikkan produktivitas petani sawit hingga dua kali lipat hanya dengan pola pelatihan yang dikembangkan oleh mereka.
Di luar negeri, kata Suroto, pengelolaan lahan oleh koperasi menuai sukses, seperti JA Zen-noh di Jepang yang menjadi koperasi pertanian terbesar dunia, NACF di Korea Selatan, Koperasi Kehutanan Metsaliito di Finlandia yang menjadi pengelola manajemen hutan terbaik dunia, Floraholland di Belanda, Perkebunan Jeruk Koperasi Sunkist di Amerika Serikat, dan lain sebagainya.
"Dalam mendukung program ini, pemerintah bisa mendorong pembiayaannya melalui penugasan khusus kepada bank BUMN yang secara perlahan kemudian diharapkan dapat membentuk bank milik rakyat sendiri dalam bentuk bank koperasi perkebunan dan pertanian," tambahnya.
Ia mengatakan, di Indonesia, Kementerian Koperasi dan UKM bisa diberikan penugasan khusus untuk membangun organisasi dan pengetahuan koperasi yang benar dan pendidikan manajemen tingkat tinggi.
Hal itu juga bisa dikerjasamakan dengan berbagai pihak, seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat yang konsern dengan perkebunan, serta koperasi yang telah mapan.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga dapat membentuk organisasi penugasan khusus untuk marketing board bagi produk-produk yang dihasilkan.
"Kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu, pola Inpres Nomor 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat yang terpisah dari struktur produksi rakyat ternyata menghambat usaha tebu rakyat sendiri," jelas dia.
Menurutnya, pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dinilai belum efektif untuk menyatukan kepentingan yang berbeda antara rakyat dan pabrik/pemilik modal besar.
"Pabrik berhadapan dan bukannya bersamaan dengan rakyat. Begitu juga dengan pola PIR lainnya yang dikembangkan dalam perkebunan sawit, karet, pertambangan, dan lain sebagainya," terangnya.
Suroto berpendapat, masyarakat juga berkecenderungan sudah jenuh dengan pola kerja sama yang dikembangkan dalam bentuk PIR selama ini.
Selain bernilai tambah kecil, masa depan mereka juga menjadi sangat tergantung pada perusahaan inti yang semakin konsentratif dan monopolistik.
"Sementara kita tahu, tanah itu untuk kemakmuran rakyat dan bukan untuk kemakmuran segelintir pemilik modal," kata dia.
Menurut dia, pola Koperasi Perkebunan Agro-Industri yang dikembangkan dengan benar sesuai jati diri koperasi bisa menjadi solusi untuk menghapus pola perkebunan yang dianggap masih terlampau memihak pemodal besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News