Jumlah tenaga kerja ini menjadi yang terbesar disusul kelapa sawit dengan 205.750 petani. Lantas apa jadinya, jika harga karet anjlok di pasaran dunia mengingat 90 persen hasil perkebunan karet Sumsel diekspor dengan tujuan Tiongkok, India, dan sebagian Eropa.
Jawabannya, pasti sangat mempengaruhi hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat Sumsel, tak hanya yang di perdesaan, yang di perkotaan pun terkena imbasnya.
Anwar, petani karet di Kecamatan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, mengatakan pada pekan ini harga getah karet belum juga membaik sejak berada di titik terendah pada pertengahan 2013.
Dia yang diwawancarai pada Rabu (10/2/2015) mengisahkan, harga getah yang diolah untuk periode satu minggu hanya dipatok pengumpul sebesar Rp4.500 per kilogram atau turun dari pekan lalu di kisaran Rp4.800. Harga ini untuk golongan getah yang masih kotor atau masih ada kulit.
Sementara, harga getah olahan untuk periode satu minggu yang sudah bersih (tidak ada kulit) hanya dinilai Rp5.800 per kilogram atau turun dari Rp6.000 dibandingkan pekan lalu. Tak berbeda jauh penurunannya, harga getah untuk periode dua pekan juga masih rendah yakni di kisaran Rp7.500 per kilogram.
Akibatnya, pendapatan petani pun secara drastis menurun, dan berpengaruh pada kehidupan masyarakat perkebunan di beberapa kabupaten/kota di Sumsel dalam dua tahun terakhir. Maklum saja, pada masa keemasan yakni periode 2010-2011 ketika pertumbuhan ekonomi di Tiongkok sebesar 9,2 persen, harga getah karet di tingkat petani berada di kisaran Rp20.000 hingga Rp25.000 per kilogram.
Namun, seiring dengan pelemahan ekonomi di Eropa yang berimbas ke Tiongkok dan India sebagai negara produsen barang membuat harga karet di pasaran ekspor pun ikut terpuruk. Sumsel yang 90 persen hasil perkebunan karetnya di ekspor harus gigit jari atas keadaan ini.
Pada 2013 tercatat produksi karet Sumsel mencapai 1.075.209 ton sementara pada 2014 berkisar 1,1 juta ton (data 2014 belum resmi dirilis Dinas Perkebunan Sumsel). Dari total produksi 2014 yakni 1.075.209 ton, hanya satu persen yang dikomsumsi dalam negeri yakni sekitar 2.000 ton atau tidak mencapai satu persen.
Data Badan Pusat Statistik Sumsel mencatat penurunan nilai ekspor cukup signifikan terjadi pada 2014 dengan membukukan hanya USD1.613.390.000 atau turun drastis dibandingkan 2013 yang mencetak USD2.705.493.000. Pada 2012, produksi karet Sumsel masih tinggi dengan mencatat USD2.943.866.000, dan mencapai masa keemasan pada 2011 dengan membukukan USD3.868.385.000, sedangkan pada 2010 hanya USD1.904.324.306 dan 2009 sebesar USD1.110.906.904.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News