Di antaranya mulai dari kelompok nelayan, petani, dan hampir seluruh elemen masyarakat, semua menolak. Selain itu, penolakan juga datang dari berbagai pihak. Sebut saja Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), pengamat energi, pakar geologi, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Indonesia, Urban Poor Consorcium (UPC), dan masih banyak lagi.
Oleh sebab itu, sangat mengherankan ketika Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis sempat menyatakan bahwa pembangunan pelabuhan sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyarakat setempat. Karena faktanya masyarakat justru melakukan penolakan keras.
Ketua Dewan Pengawas Koperasi Unit Desa (KUD) di kawasan Cilamaya, Mina Fajar Sidik, pun dengan tegas menolak. Menurutnya, jika Pelabuhan Cilamaya dibangun, sudah dipastikan area tangkapan ikan nelayan terancam hilang.
"Ini dampak arus lintas kapal-kapal besar bermuatan barang industri automotif yang dipastikan hilir-mudik di laut Pantura Jawa Barat," ujar Mina, dalam siaran persnya di Jakarta, Jumat (6/2/2015).
Keluhan lain disampaikan Ketua Kelompok Kerja Masyarakat Pesisir (KKMP) Karawang, Ijang. Menurut dia, pemerintah harus mengerti keadaan masyarakat. Di Karawang, lanjutnya, terdapat 12 ribu nelayan, 12 pelabuhan perikanan.
"Kalau pelabuhan internasional dibangun, semuanya mati. Kalau lahannya diganggu, bagaimana nasib kami? Otomatis masyarakat nelayan menganggur. Kami nelayan, mau dijadikan kuli angkut pelabuhan Jepang?" katanya.
Sementara itu, pengamat energi dari ReforMiner Institute, Pri Agung, turut angkat bicara. Menurutnya, produksi minyak dan gas (migas) Blok Offshore Northwest Java (ONWJ) tidak boleh ditutup karena akan mengganggu ketahanan energi nasional jika hanya demi membangun Pelabuhan Cilamaya, yang notabene untuk melayani perusahaan automotif yang juga sebagai pengonsumsi terbesar BBM bersubsidi.
Menurutnya, Pertamina Hulu Energi ONWJ dan negara berpotensi kehilangan pendapatan Rp130 triliun dan Pertamina EP sebesar Rp1,4 triliun, kemudian PLN sebesar Rp5,54 miliar per hari karena pasokan gas ke Pembangkit Muara Karang dan Tanjung Priok terhenti, PT Pupuk Kujang Rp6,1 miliar per hari.
Bukan hanya itu, terganggunya produksi listrik dan pupuk menciptakan rantai kerugian lanjutan. Misalnya pemadaman bergilir yang juga merugikan banyak sektor, kelangkaan pupuk yang bisa menghambat produksi pertanian, dan banyak lagi.
Selain itu, Ketua Ikatan Umum Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohari mengatakan pembangunan pelabuhan di Cimalaya baru boleh dilakukan setelah cadangan migas di wilayah itu habis.
"Untuk menghabiskan cadangan migas tersebut tidak perlu waktu lama. Setelah cadangan migasnya habis, baru dapat dibangun pelabuhan yang bisa dimanfaatkan selamanya," kata Rovicky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News