Pasalnya, dalam beberapa tahun belakangan, di saat kesejahteraan pekerja meningkat lantaran penaikan UMP tiap tahun itu, di saat yang bersamaan juga terjadi pemangkasan jumlah pekerja. Alhasil industri manufaktur pun terpengaruh.
"UMP naik itu tidak menolong tenaga kerja secara keseluruhan, justru lapangan kerja malah berkurang, sehingga sektor manufaktur tidak terkover," kata Febrio di Gedung LMEP UI, Jakarta, Senin, 4 November 2019.
Berdasarkan pengamatannya, penaikan UMP secara rutin sebesar 8,51 persen tiap tahunnya selalu dibarengi dengan pemangkasan jumlah pekerja oleh pelaku usaha.
Ia menambahkan, penghitungan penaikan UMP dengan menghitung pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi merupakan rumusan yang tak relevan. Menurutnya, dengan kalkulasi itu akan terjadi negosiasi penaikan UMP hingga 15 persen.
"Ini sudah tidak sehat. Tidak hanya untuk manufaktur dan pengusahanya, tapi juga bagi tenaga kerjanya. Akan terjadi lay off, semakin banyak pengurangan tenaga kerja," tukasnya.
Akhir Oktober lalu, Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani mengatakan penaikan UMP 2020 sebesar 8,51 persen merupakan jalan tengah yang mempertemukan kepentingan pekerja dan pengusaha.
"Angka ini kan diambil dari inflasi nasional sebesar 3,39 persen ditambah dengan pertumbuhan ekonomi 5,12 persen menjadi 8,51 persen, sesuai dengan PP 78/2015 tentang Pengupahan," kata Dinar, Kamis, 31 Oktober 2019 lalu.
Hal itu disampaikannya seusai pertemuannya dengan buruh yang berunjuk rasa di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta.
Menurut Dinar, bukan hanya buruh yang keberatan dengan angka tersebut, asosiasi pengusaha juga meminta kementerian untuk menurunkan angka 8,51 persen itu karena dirasa sangat tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id