"Drafnya sudah selesai tapi perlu persetujuan Presiden. Sudah di Istana, tinggal menunggu tanda tangan Presiden," kata Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan dalam konferensi pers di Equity Tower, Kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Rabu, 31 Juli 2019.
LPS, kata Fauzi, menargetkan premi PRP dapat terkumpul hingga dua persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang terbentuk di 2017. Premi itu akan dikenakan untuk jangka waktu pembayaran 30 tahun.
Premi PRP ditujukan sebagai dana talangan untuk menyelamatkan industri perbankan jika terjadi krisis. Fauzi meminta semua kalangan melihat pengenaan premi PRP secara menyeluruh.
Ia memahami jika industri perbankan pada awalnya akan merasa keberatan lantaran sudah terdapat pungutan lain, yakni premi penjaminan LPS dan premi untuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Namun, kata Fauzi, target pengumpulan dana PRP hingga dua persen PDB masih relatif kecil. "Itu sangat rendah. Kalau kita lihat biaya penyelamatan sektor perbankan pada periode 1998-1999 itu lebih dari 60 persen PDB," tukasnya.
Apalagi besaran premi berkisar antara nol hingga 0,007 persen dari total aset bank. Bank yang wajib membayar premi PRP itu pun hanya bank yang memiliki nilai aset di atas Rp1 triliun. Sedangkan bank yang memiliki aset di bawah Rp1 triliun dikenakan tarif premi PRP sebesar nol persen alias gratis.
"Apalagi perbankan kalau kita lihat saat ini rasio kecukupan modal sebesar 23 persen, marjin bunga bersih juga tertinggi di Asia bahkan di dunia. Maka itu premi PRP tidak akan memberatkan," tegas Fauzi.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan aturan Premi PRP sudah mempertimbangkan banyak hal, termasuk kekhawatiran para bankir mengenai besaran premi yang harus dibayarkan.
"Concern (kekhawatiran) bankir ini sudah dipertimbangkan sehingga tarif preminya tak memberatkan. Bahkan ini sangat longgar menurut saya," ucapnya.
Selain itu, setelah PP mengenai premi PRP ini disahkan Presiden Joko Widodo, LPS memberikan waktu transisi kepada perbankan sebelum membayar premi PRP. Namun Halim enggan merinci berapa lama masa transisi itu, dengan alasan menunggu persetujuan Presiden.
"Ini akan dikenakan selama 30 tahun dengan target yang menggunakan PDB 2017, bukan PDB 2019," pungkas Halim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News