Salah satu peneliti CIPS Imelda Magdalena Freddy mengungkapkan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sumenep dan Dompu, para pentani mengeluh bahwa benih dari pemerintah tidak memiliki warna pucat dan bentuk yang berbeda, yang mengindikasikan benih sulit ditanam.
"Benih mengeluarkan bau, terbalut jamur dan kutu, kondisi seperti ini tidak dapat digunakan sama sekali," ujarnya dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Selasa, 24 Juli 2018.
Ia menambahkan,buruknya kualitas benih berakibat menurunnya produksi, jika menggunakan benih dari Balitbangtan hanya mencapai produksi tiga hingga lima ton per hektare (ha), sedangkan dengan benih swasta dapat mencapai 7-10 ton per ha, atau hampir dua kali lebih tinggi.
"Akhirnya petani tidak merasakan dampak dari bantuan ini, karena benih tidak bisa digunakan, begitu juga dengan pihak swasta (pengepul), juga tidak mau mengambil hasil panen," tambahnya.
Pihaknya menilai minimnya quality control yang dilakukan Balitbangtan. Pasalnya Balitbangtan menggunakan pihak kedua untuk melakukan distribusi benih jagung ke petani.
"Pemerintah menunjuk penangkar benih yang tidak berkualifikasi sehingga kualitas produksi benih dihasilkan rendah," imbuhnya.
Lebih lanjut, dari kondisi tersebut menimbulkan kerugian besar bagi petani, meski mendapat benih secara cuma-cuma, namun ujungnya akan berisiko gagal panen. Kerugian juga dirasakan pemerintah yang telah menganggarkan Rp1,3 triliun untuk pengamana bibit padi, jagung, kedelai (pajela), di mana jagung memiliki porsi lebih besar.
"Banyak benih yang terbuang percuma, bahkan binatang saja tidak mau memakan jagung dengan kualitas buruk, akhirnya dana yang digunakan pemerintah tidak dapat digunakan secara maksimal," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News