Ilustrasi penjual pakaian bekas. FOTO: dok MI.
Ilustrasi penjual pakaian bekas. FOTO: dok MI.

Bea Cukai: Pakaian Bekas Impor Serupa Sampah

Ilham wibowo • 11 Oktober 2019 18:45
Jakarta: Kehadiran pakaian bekas impor ke Tanah Air dinilai merugikan negara sekaligus merusak industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri. Selain mengandung bakteri, baju bekas juga termasuk dianggap golongan sampah di negara maju.
 
Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi mengatakan penyelundupan pakaian bekas tersebut dikemas dalam bentuk karung padat atau disebut dengan istilah balpres. Oknum yang terlibat mencari celah pengawasan petugas dengan mengirim barang melalui jalur pelabuhan kecil seperti di Kendari, Maumere dan Batu Asahan yang nantinya disebar ke kota besar.
 
"Sebagian daripada balpres itu nanti akan mengalir ke kota-kota dan dia akan saingi produk industri kita yang sudah patuh pajak," kata Heru ditemui di kompleks perkantoran Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Jumat, 11 Oktober 2019.

Bisnis baju impor bekas pakai ini terus menjamur meskipun sejak lama telah dilakukan tindakan tegas apabila ketahuan petugas Bea Cukai. Pasalnya, keuntungan yang didapat berlipat ganda lantaran balpres pakaian bekas tersebut sengaja dibuang oleh pengumpul dari negara asalnya.
 
Proses impor yang dilakukan secara ilegal juga lolos dari kepatuhan pajak negara. Bahkan, pengumpul di negara asal sengaja memberikan insentif dana transportasi agar barang bisa berpindahtangan.
 
"Balpres ini tidak bayar apapun, negara maju itu senang kalau sampahnya diambil. Memang sengaja dibuang kalau di negara-negara yang maju Karena menyimpan baju itu mahal, sehingga kalau ada yang mau menampung dan dikirim ke Indonesia, alasan mungkin dikasih ongkos," paparnya.
 
Pelaku usaha yang bergelut di tingkat pengecer juga jumlahnya terus bertambah. Penyebabnya, produk yang telah dipilah sesuai merek dan jenis bisa laku keras dengan harga penawaran mulai Rp20 ribu hingga Rp300 ribu per pakaian.
 
"Dia dapat dua benefit ya, pertama dia waktu mengambil dari sana, kedua kemudian waktu bawa ke sini dapat keuntungan karena ada yang menampung dan beli, itulah mengapa  balpres ini menggangu industri," ungkapnya.
 
Adapun sepanjang 2019, Direktorat Bea Cukai telah menindak tegas 311 kapal ukuran 200-300 GT pembawa balpres dengan nilai Rp42,1 miliar. Sementara 2018 dilakukan penindakan terhadap 394 kapal pembawa balpres senilai Rp48,96 miliar.
 
"Satu kapal isinya 1.000 bal, satu bal itu satu meja, isinya itu bisa sampai 1.000 lembar baju atau celana dan seterusnya," kata Heru.
 
Upaya memberantas balpres pakaian bekas ini saat ini juga mulai gencar dengan melibatkan jajaran Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag. Barang bukti 551 bal pakaian bekas yang akan dijual kepada konsumen telah disita hasil temuan di Bandung senilai Rp5 miliar.
 
Direktur Jenderal PKTN Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono mengatakan pihaknya juga telah memberikan kewenangan kepada Dirjen Bea Cukai untuk penindakan di berbagai titik masuk barang impor. Larangan untuk memperjualbelikan pakaian bekas itu pun telah diatur melalui Undang Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan Produk Impor dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
 
"Bahan-bahan kemarin kami uji laboratorium hasilnya betul-betul mengandung bakteri dan virus. Dalam waktu dekat kami lihat situasi yang kondusif dan kami akan lakukan pemusnahan," kata Veri.
 
Koordinasi juga dilakukan bersama jajaran Kepolisian untuk bisa bersama melakukan penindakan terhadap oknum importir baju bekas. Subdirektorat I Industri dan Perdagangan (Indag) Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya bahkan telah membongkar penyelundupan tekstil, pakaian bekas, dan sepatu ilegal senilai Rp9 miliar asal Tiongkok.
 
Penindakan tegas idealnya bisa dilakukan terhadap setiap pelaku usaha yang mengimpor pakaian bekas. Sebab secara nyata mereka telah dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.
 
Kemendag mengimbau masyarakat sebagai konsumen untuk teliti dan cerdas dalam mengonsumsi produk sandang, terutama terkait aspek kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan (K3L). Mikroorganisme pathogen yang terdapat dalam pakaian bekas dapat menimbulkan berbagai penyakit karena pakaian langsung bersentuhan dengan tubuh dan dipakai oleh konsumen dalam rentang waktu yang cukup lama.
 
Veri juga menjelaskan, pada dasarnya konsumen memiliki pilihan untuk menggunakan produk pakaian baru yang lebih bermutu. Selain itu, produk dalam negeri juga saat ini harganya yang lebih terjangkau.
 
"Kami mengimbau agar konsumen menggunakan produk dalam negeri dalam upaya menjaga harkat dan martabat bangsa," pungkas Veri.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan