Deputi Bidang Industri Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno mengakui bisnis perseroan PTDI terlilit akibat membayar biaya denda keterlambatan. Menurutnya, keterlambatan pengiriman terjadi akibat ada beberapa komponen pesawat yang harus diimpor.
"Produksi pesawat PTDI kan lisensi, dan komponennya ada yang diimpor. Makanya ada yang terlambat pengiriman," ujar Harry kepada Metrotvnews.com, Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.
Namun demikian, beberapa denda keterlambatan dihapus. Ini hasil dari negosiasi yang dilakukan antara PTDI dengan para pemesan. Salah satunya pengiriman pesawat C212-400 ke Thailand.
Dia membeberkan bahwa sebenarnya kontrak PTDI dengan Thailand untuk pesawat C212-400 dilakukan pada Agustus 2011 dengan target pengiriman 12 Oktober 2013. Dengan nilai kontrak sebesar USD8,34 juta atau setara Rp108,4 miliar (kurs Rp13.000/USD), PTDI justru harus membayar denda sebanyak USD13,52 juta atau sekira Rp175,8 miliar karena baru dikirim 19 Januari 2016.
"Denda dinegosiasikan, bisa saja PTDI tidak membayar denda, tergantung negosiasi. Karena kan terlambat juga karena kontrak pengadaannya terputus sehingga harus dilakukan kerja sama ulang," tutur Harry.
Ada juga denda keterlambatan mengirim pesawat Super Puma NAS332 untuk TNI Angkatan Udara. Kontrak pada Desember 2011 dengan nilai Rp170 miliar dan target pengiriman Januari 2014, PTDI kembali menelan pil pahit karena baru bisa mengirim pesawat tersebut pada September 2016. Alhasil, PTDI dikenakan denda Rp8,5 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News