Menurut Satrio, dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015, Indonesia adalah pasar yang terbuka luas bagi negara-negara ASEAN lain. Akan banyak arsitek dari luar Indonesia yang turut menawarkan jasanya di Tanah Air. "Undang-Undang itu kita perlukan terutama untuk melindungi konsumen, yaitu para pengguna jasa arsitek di dalam negeri," ujarnya.
Satrio menjelaskan, dengan Undang-Undang tersebut, para arsitek yang berpraktik di Indonesia, baik warga negara Indonesia maupun asing, harus mengikuti standar-standar yang digariskan Undang-Undang. Untuk arsitek asing, misalnya, harus yang sudah diakui oleh asosiasi arsitek di negaranya, baru mereka bisa diterima berpraktik di Indonesia.
Sekjen IAI menambahkan, saat ini jumlah arsitek di Indonesia lebih kurang 15.000 orang. Dari jumlah itu, hanya sepertiganya yang menjadi anggota IAI. Kemudian bila dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk Indonesia yang mencapai 220.000 juta jiwa, maka perbandingannya adalah 1:83.000.
Satrio memberi contoh rasio yang dimiliki Tiongkok. Di Negeri Tirai Bambu yang penduduknya 1,5 miliar jiwa, rasio dengan arsiteknya 1:40.000. Sementara negara Italia yang menjadi salah satu kiblat arsitektur dunia, rasionya 1:400. Angka perbandingan itu menandakan bahwa Indonesia masih memerlukan sangat banyak arsitek.
"Apalagi pemerintah sekarang fokus pada pembangunan infrastruktur, yang artinya memerlukan banyak arsitektur, baik sebagai perencana, perancang maupun konsultan," ujar Satrio.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News