Kepolisian sempat menyita beras perseroan sebanyak 1.161 ton. Beras-beras itu diduga jenis IR 64, yang diolah dan diberi kemasan bagus, serta diberi merek Maknyuss dan Cap Ayam Jago.
Kemudian, beras dijual yang ke pasar ritel modern dengan harga premium Rp13.700 pe kilogram (kg) dan Rp20.400 per kg. Padahal, harga eceran tertinggi beras yang ditetapkan pemerintah hanya Rp9.000 per kg.
Menanggapi penyitaan itu, AISA selaku induk usaha menampik permasalahan tersebut. Manajemen meyakini jika anak usaha membeli bahan beras sesuai mekanisme pasar yang berlaku. Perseroan pun yakin anak usaha tidak mengoplos langsung beras subsidi, seperti raskin atau yang lebih dikenal beras sejahtera (rastra).
"Kami tidak menggunakan beras rastra sebagai bahan baku. Subsidi input sudah selesai dari tingkat gabah," kata Direktur dan juga sebagai Juru Bicara AISA, Jo Tjong Seng, ditemui saat paparan publik perseroan di Gedung BEI, SCBD Sudirman, Jakarta, Selasa 25 Juli 2017.
Di tempat yang sama, Presiden Direkur AISA Stefanus Joko Mogoginta menyatakan, PT IBU membeli gabah yang ada di pasar. Pembelian gabah juga langsung dari petani lingkungan yang ada di sekitar pabrik perseroan.
Ini berarti, jika IR64 yang dibeli IBU melanggar aturan, maka kompetitor lainnya harus menanggung nasib yang sama dengan anak usaha perseroan.
"Petani biasanya menjual dari kelompok tani, nah kami ambil dari situ. Kami beli seperti beras yang dibeli orang lain. Jadi pelaku usaha lain juga beli IR64," tegas Stefanus Joko.
Adapun beras jenis premium, lanjut Jo, bisa dilihat dari mutu fisik. Hal itu menjadi syarat untuk meraih label SNI di produk beras. "Jadi bukan tergantung pada jenis beras atau varietasnya, dengan demikian jenis IR64 atau apapun bisa jadi medium atau premium sepanjang bisa diolah sesuai standar parameter fisik," pungkas Jo sapaan akrabnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News