"Gugatan ini karena kita (Kelapa Sawit RI) mendapat diskriminasi, mau enggak mau kita punya produk, harus kuat ke sana," kata Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto ditemui di Hotel Mandarin, Jakarta, Senin, 16 Desember 2019.
Melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss, gugatan resmi diajukan untuk menghadapi tindakan UE di WTO pada 9 Desember 2019. Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE yang dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.
Sebelum itu, Pemerintah Indonesia telah menyampaikan keberatan atas kebijakan UE ini di berbagai forum bilateral, baik dalam Working Group on Trade and Investment Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dan pertemuan Technical Barriers to Trade Committee di WTO. Namun, UE tetap tidak menanggapi keberatan Indonesia terhadap kebijakan UE tersebut.
Agus mengatakan keputusan menggugat ke WTO dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi pelaku usaha produk kelapa sawit. Kajian ilmiah juga telah dibuat mendetail serta berkonsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya.
Tindakan diskriminasi lantas dinilai telah terjadi lantaran pembatasan akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit. Kebijkan tersebut bisa berdampak negatif terhadap ekspor produk Kelapa Sawit Indonesia di pasar UE.
Dengan gugatan ini, Indonesia meminta UE dapat segera mengubah kebijakan RED II dan Delegated Regulation serta menghilangkan status high risk ILUC pada minyak kelapa sawit.
"Di mana-mana negara enggak senang diskriminatif, kita akan lawan itu," ungkap Agus.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana menjelaskan UE mewajibkan mulai 2020 hingga 2030 penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui melalui kebijakan RED II
Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.
"Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global," papar Wisnu.
Data statistik BPS menunjukkan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke Uni Eropa menunjukkan tren negatif pada lima tahun terakhir. Nilai ekspor FAME mencapai USD882 juta pada periode Januari-September 2019, atau menurun 5,58 persen dibandingkan periode yang sama di 2018 sebesar USD934 juta.
Sementara nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke dunia juga tercatat melemah 6,96 persen dari USD3,27 miliar pada periode Januari-September 2018 menjadi USD3,04 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News