"Desember ini final dari Eropa. Kita sudah melakukan hearing, sudah datang ke sana, termasuk dengan pengacara masing-masing perusahaan. Setelah ini, mereka tinggal memutuskan," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana, seperti dikutip dari Antara, Selasa, 26 November 2019.
Indra memaparkan tuduhan antisubsidi biodiesel yang dilakukan UE telah dimulai dengan inisiasi sejak Desember 2018. Sejumlah proses pun telah dilalui, mulai dari kuesioner penyelidikan, verifikasi lapangan, dengar pendapat (hearing), sampai pengenaan bea masuk sementara.
Sejak September lalu hingga saat ini, UE telah mengenakan Bea Masuk Anti Subsidi (BMAS) untuk produk biodiesel Indonesia sebesar 8-18 persen. Pemerintah berharap agar dalam keputusan final tersebut, UE dapat menerima sepenuhnya argumen yang disampaikan Indonesia sehingga mampu menurunkan, bahkan menghilangkan besaran tarif bea masuk biodiesel.
"Berubah mungkin angkanya, bisa hilang, bisa turun. Perusahaan kan sudah menyampaikan data-datanya. Dengan data tersebut, kami harapkan kalaupun dikenakan (tarif), masih turun, tidak sampai kemarin sampai 18 persen," kata Indrasari.
Jika keputusan akhir UE mencabut pengenaan bea masuk antisubsidi, bea masuk sementara yang sudah dibayar para eksportir biodiesel Indonesia akan dikembalikan. Di sisi lain, jika UE justru tetap mempertahankan pengenaan BMAS sebesar 8-18 persen, Pemerintah Indonesia akan menggugatnya lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Kasus tuduhan antisubsidi biodiesel ini merupakan satu dari tujuh kasus yang saat ini tengah ditangani Indonesia. Enam kasus lainnya, yakni dua kasus dari Amerika Serikat untuk produk biodiesel dan utilisasi turbin angin.
Selanjutnya, dari Uni Eropa untuk produk baja hot rolled stainless steel sheet and oils; dan tiga kasus dari India untuk produk cast copper wire rods, flat stainless steel dan fiberboard.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News