Mantan Menteri Koordinator Perekonomian ini mengatakan, lambannya kinerja OJK tidak sebanding dengan fasilitas yang telah diberikan negara baik kepada para pimpinan maupun karyawannya.
"OJK dibiayai dengan budget dan staf gaji tinggi, tetapi kemampuan survailance dan monitoring tidak memadai, enforcement lemah, dan tidak memiliki kemampuan untuk turn-around. Terlalu kuat mental birokrat, ini belum krisis loh," ketus Rizal di Jakarta, Rabu, 18 Desember 2019.
Menurut dia, sejatinya pembentukan OJK bertujuan untuk meningkatkan pengawasan persoalan keuangan nonbank dan sebagai pembelajaran dari krisis ekonomi 1998. Rizal menilai, UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK juga sudah cukup memadai, namun implementasinya masih lemah.
"OJK dibahas terkait revisi UU tentang Bank Indonesia tahun 2000. Sebagai antitesis kelemahan pengawasan BI terhadap bank-bank sehingga terjadi krisis 1998. UU OJK sudah bagus, tapi pimpinan payah," ujarnya.
Selain kasus Jiwasraya, banyak persoalan keuangan di Tanah Air yang luput dari pengawasan OJK. Misalnya, lembaga keuangan yang selama ini dinilai merugikan konsumen seperti fintech ilegal.
"Masalah sederhana seperti maraknya fintech ilegal yang menawarkan bunga pinjaman super tinggi, sangat merugikan konsumen, harrasment, dan pinalti yang mereka lalukan terhadap peminjam telat bayar luar biasa, itupun OJK tidak mampu awasi dan tertibkan," pungkas Rizal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News