Meskipun mengalami penurunan, Kepala BPS Suharyanto mengharapkan pemerintah untuk terus menurunkan tingkat gini ratio. Pasalnya, ketimpangan sosial bisa menimbulkan konflik sosial.
"Kalau tidak dijaga maka ketimpangan yang tinggi akan terjadi konflik sosial," ucap Suhariyanto, ditemui di Gedung BPS, Jakarta, Rabu (1/2/2017).
Suhariyanto menekankan, jika gini ratio semakin tinggi, paham radikalisme yang ada di Indonesia akan semakin berkembang. Dengan adanya penurunan gini ratio, angka kemiskinan akan semakin menurun.
"Tentu memberikan pengaruh, miskin atau ketimpangan mereka merasa tidak jadi bagian di negeri ini. Maka kalau terjadi mudah dipengaruhi radikalisme. Akar permasalahan banyak, salah satu itu soal kemiskinan," sebut Kecuk pria yang memiliki nama asli Suhariyanto.
Jika membalik ulang ke tahun 2010, Kecuk menyebutkan, tingkat gini ratio tercatat sebesar 0,378 dan meningkat menjadi 0,410 per Maret 2011. Gini ratio turun lagi di September 2011 menjadi 0,388. Pada Periode Maret 2012 hingga September 2014, nilai gini ratio berfluktuasi dan mencapai angka tertingi di posisi 0,414. Pada Maret 2015, gini ratio mulai turun 0,408 dan terus menurun hingga mencapai angka 0,394 di September 2016.
Kecuk menambahkan, ada delapan kota yang gini rationya di atas tingkat nasional, seperti Yogyakarta yang memiliki tingkat gini ratio tertinggi sebesar 0,425. Tertinggi kedua ada di Gorontalo 0,410, Jawa Timur sebesar 0,402, Jawa Barat sebesar 0,402, Papua Barat sebesar 0,401, Sulawesi Selatan sebesar 0,400, Papua sebesar 0,399 dan Jakarta sebesar 0,397.
"Gini ratio paling terendah ada di Kota Belitung. Tingkat gini ratio di daerah tersebut hanya mencapai 0,288," tutup Kecuk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News