"Keputusan itu diambil setelah dilakukan pembahasan secara menyeluruh dan hati-hati, dengan memperhatikan masukan dari banyak pihak. Pertimbangannya, pemerintah sangat memperhatikan multiplier effects serta percepatan pembangunan ekonomi Maluku khususnya, dan Indonesia Timur pada umumnya," kata Rizal Ramli dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Selasa (23/2/2016).
Menurutnya, dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo selalu memberi arahan, bahwa ingin melaksanakan konstitusi dengan konsekuen. Terkait pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Rizal pun mengatakan, Jokowi juga berkali-kali menegaskan, pemanfaatan ladang gas abadi Masela tidak sekadar sebagai penghasil devisa, tetapi juga harus menjadi motor percepatan pembangunan ekonomi Maluku dan Indonesia Timur.
Lebih lanjut, Rizal pun mengklaim, berdasarkan kajian Kemenko Maritim, biaya pembagunan kilang darat (onshore) sekitar USD16 miliar. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (offshore), di mana biayanya mencapai USD22 miliar.
"Dengan demikian, kilang di darat USD6 miliar lebih murah dibandingkan dengan kilang di laut," ujar dia.
Meskipun angka ini sangat berbeda dengan perkiraan biaya dari Inpex dan Shell yakni pembangunan kilang offshore hanya USD14,8 miliar. Sedangkan pembangunan kilang di darat mencapai USD19,3 miliar. Rizal pun mengungkapkan, Inpex dan Shell telah membesarkan biaya pembangunan fasilitas onshore.
"Inpex dan Shell telah membesar-besarkan biaya pembangunan kilang di darat. Sebaliknya, mereka justru mengecilkan biaya pembangunan di laut," jelas dia.
Adapun untuk memastikan kebenarannya, Rizal mau menantang Inpex dan Shell. Jika ternyata biaya pembangunan di laut membengkak melebihi USD14,8 miliar, maka Inpex dan Shell harus bertanggungjawab membiayai kebihanannya, tidak boleh lagi dibebankan kepada cost recovery.
"Faktanya Inpex tidak berani. Ini menunjukkan mereka sendiri tidak yakin dengan perkiraan biaya yang mereka buat," ucap dia.
Dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia memang bersikap hati-hati. Pemerintah juga belajar dari pengalaman pembangunan kilang offshore di Prelude, Australia, yang mengalami keterlambatan dan pembengkakan biaya cukup besar. Prelude telah menghabiskan biaya USD12,6 miliar. Padahal kapasitasnya hanya 3,6 juta ton per tahun, 48 persen dari Kapasitas Masela (7,5 juta ton per tahun).
Menurut Rizal Rami yang juga Menteri Keuangan di era Presiden Abdurrahman Wahid, seandainya pembangunan kilang dilaksanakan di laut, maka Indonesia hanya akan menerima pemasukan USD2,52 miliar per tahun dari penjualan LNG. Angka itu pun diperoleh dengan asumsi harga minyak USD60 per barel.
Sebaliknya dengan membangun kilang di darat, gas LNG itu sebagian bisa dimanfaatkan untuk industri pupuk dan petrokimia. Dengan cara ini, negara bisa memperoleh pencapatan mencapai USD6,5 miliar per tahun.
"Inilah yang menjelaskan mengapa Presiden menginginkan pembangunan kilang Masela di darat. Beliau sangat memperhatikan manfaatnya dan multiplier effect-nya yang jauh lebih besar dibandingkan jika kilang dibangun di laut. Dengan pembangunan kilang di darat, akan lahir industri pupuk dan petrokimia. Kita bisa mengembangkan kota Balikpapan baru di Selaru yang berjarak 90 km dari Blok Masela," ungkap Rizal Ramli.
Rizal juga menilai kekhawatiran Inpex akan keluar dari proyek pengembangan Blok Masela sangat berlebihan. Pasalnya, Inpex sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun dan investasi sekitar USD2 miliar. Perusahaan itu tidak akan meninggalkan Blok Masela yang memiliki cadangan lebih dari 20 tcf (trilion cubic feet). Dengan asumsi diproduksi 1,2 juta kaki kubik per hari, maka cadangan bisa dimanfaatkan sampai 70 tahun.
Itulah sebabnya, Inpex diyakini tidak akan keluar dari proyek ini. Namun jika ternyata Inpex benar-benar keluar, maka banyak investor dari negara lain yang sangat berminat meneruskannya.
"Pemerintah Indonesia sangat menghargai hubungan strategis dan jangka panjang dengan Jepang. Kita juga memahami kebutuhan Jepang akan sumber energi berjangka panjang yang reliable. Kita percaya Inpex akan sangat berkepentingan dengan pembangunan kilang di darat yang jauh lebih murah, dan menguntungkan Indonesia dan Jepang," tutup Rizal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News