Salah satu wilayah yang termaju di Tiongok, Shanghai, hampir semua transaksi menggunakan cashless. Semua orang memiliki dompet digital yang berbentuk dalam sistem alipay yang menyediakan sistem pembayaran. Dengan menempelkan smartphone ke barcode dengan mekanisme Near Field Communication (NFC) maka transaksi bisa terjadi baik melalui debit ataupun kartu kredit.
Transaksi ini terjadi dihampir semua kegiatan baik melalui gerai makanan, restoran, hingga penyewaan sepeda. Pilihan untuk membayar cash tetap ada tapi pada umumnya hanya digunakan bagi sebagian penduduk saja atau turis asing yang sedang berkunjung. Maklum Alipay hanya bekerjasama dengan bank asal Tiongkok saja sehingga menjadi sulit bagi wisatawan asing yang berkunjung ke negeri itu untuk melakukan transaksi melalui NFC.
Dony salah satu warga shanghai mengatakan, bahwa dia kerap menggunakan Alipay untuk menyewa sepeda. Penyewaan dilakukan dengan abonemen sebesar 1.000 yuan untuk sebulan untuk menggunakan e-bike. Dana ini bisa menyusut jika hanya menggunakan selama sejam atau dua jam.
"Bisa enam yuan per jam," kata dia beberapa waktu lalu ditulis Minggu, 17 Desember 2017.
Dia mengaku tak pernah mengalami kerusakan jaringan internet saat melakukan cashless. Hal ini karena setiap distrik memiliki koneksi internet dengan kapasitas yang cukup besar sehingga hampir tak menemui adanya keluhan saat bertransaksi online.
Fenomena yang cukup tak biasa di Tiongkok bagi warga Indonesia adalah adanya pengemis yang meminta uang dengan menggunakan transaksi cashless dengan smartphone. Fenomena ini biasa ditemui ketika mereka meminta uang ke warga lokal. Berbeda ketika mereka meminta uang kepada warga asing.
Dengan cara ini, hampir susah bagi warga lokal yang dimintai untuk menolak karena pasti ada uang di dalam smartphone-nya. Hal ini yang membuat mereka agak ngotot ketika meminta uang di jalanan.
Penerapan cashless ini yang kemudian dimanfaatkan perusahaan sebesar Alibaba untuk melacak data konsumennya yang terintegrasi dengan data penduduk nasional. Dengan data yang akurat Alibaba bisa mengetahui segmen konsumen yang dibidik serta membuat trend baru seperti rekayasa virtual yang terjadi di toko ritel miliknya.
"Keunggulan kami di data. Kami memiliki data dengan jumlah penduduk yang memiliki konsumsi yang besar," kata Daniel Zhang Director and Chief Executive Officer Alibaba.
Data membuat perusahaan ecommerce bisa menawarkan sensasi belanja atau tawaran program yang akurat karena setiap segmen umur, jenis kelamin serta tingkat pendapatan memiliki kebutuhan yang berbeda.
Bahkan data ini membuat Alibaba mengetahui hobi atau minat seseorang berikut dengan rutinitas sehari-hari yang berkaitan dengan transaksi belanja. Data ini berguna bagi Alibaba yang memiliki diversifikasi bisnis yang beragam dari perusahaan musik, toko ritel untuk makanan dan minuman hingga e-commerce.
Pentingnya Data
Di Indonesia penerapan cashless masih sebatas transaksi untuk jalan tol dan sehari hari seperti membeli makanan dan minuman. Penerapan cashless untuk jalan tol juga sempat diragukan bisa mengubah pola kebiasaan masyarakat yang masih senang bertransaksi melalui uang tunai. Di beberapa ruas jalan tol masih ada petugas yang mengawasi transaksi menggunakan e-money.
Pemerintah juga berusaha menggenjot transaksi nontunai dengan memangkas biaya untuk pembayaran melalui mesin Electronic Data Capture (EDC) menjadi satu persen. Penurunan biaya EDC bisa menjadi amunisi tambahan untuk menyosialisasikan pola transaksi cashless.
Ketika Indonesia bisa memanfaatkan transaksi cashless dengan big data yang saling terintegrasi dengan satu sama lain diharapkan kebijakan pemerintah yang selama ini mengeluhkan ketidaksinkronan data bisa teratasi sehingga menghasilkan policy kebijakan yang lebih akurat bagi rakyat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News