Menurutnya, Indonesia masih memiliki tiga jenis manufaktur yang dapat memiliki peranan besar dan memberikan pengaruh dalam MEA ke depannya. Hal tersebut disampaikan Bambang, dalam seminar nasional peluang dan tantangan Indonesia dalam MEA, di Jakarta, Jumat (30/1/2015).
Bambang mengungkapkan, pertama adalah manufaktur yang berbasis kepada sumber daya alam. Tren yang selama ini adalah Indonesia sering kali lebih memilih untuk mengekspor barang mentahnya saja tanpa memberikan nilai tambah kepada bahan tersebut. Dalam MEA, hal tersebut harus dihindari sebab hanya akan memberikan keuntungan bagi negara ASEAN lainnya.
"Dengan memberikan bea keluar bagi bahan mentah maka hal tersebut akan dapat merangsang untuk terbentuknya industri industri pengolah bahan mentah. Contohnya adalah CPO yang merupakan anugerah besar bagi Indonesia bukan hanya dari soal jumlah melainkan produk turunannya yang sangat banyak, selain itu juga karet dan kakao juga barang tambang," ujar Bambang.
Bila Indonesia hanya mengandalkan penjualan bahan mentah, maka industri pengolahannya tidak akan berkembang. Dalam tren lima tahun terakhir, bisnis kafe akan kopi dan cokelat semakin berkembang. Sebab, sudah mulai muncul industri yang memang dapat menyerap produksi biji kakao sehingga Indonesia bisa membuat bubuk cokelat.
Kedua, manufaktur yang berbasis konsumsi jumlah besar, Pendekatan ini menurut Bambang adalah pendekatan yang digunakan oleh Tionngkok untuk melakukan bisnisnya. Tiongkok menerapkan ekonomi of scale yang berbasis kepada ekonomi mikro yang mengandalkan besaran pasar.
"Dalam teori ekonomi of scale, semakin banyak kita memproduksi semakin bagus of scale nya dan cost perunit akan semakin rendah. Bila pendekatan ini diterapkan di Indonesia maka akan banyak industri yang bisa memanfaatkan hal tersebut, terutama industri yang bisa menjangkau sebagian besar masyarakat Indonesia," papar Bambang.
Hal tersebut adalah potensi kedua bagi Indonesia yakni manufaktur yang sudah memanfaatkan konsumsi besar, untuk produk consumer goods selama bisa menjadi masif production maka hal ini akan menjadi mudah bersaing dengan ASEAN. Bambang melihat hal tersebut disebabkan ASEAN yang lainnya tidak memiliki kemewahan melayani pasaran yang besar sehingga sulit menurunkan cost per unitnya sulit dibuat turun.
Terakhir adalah manufaktur substitusi impor. Namun bukan sembarang manufaktur substitusi impor biasa. Manufaktur tersebut harus difokuskan kepada bahan baku, barang modal yang akan dimanfaatkan untuk infrastruktur. Dengan mengedepankan demand oriented sehingga dapat menyesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan oleh industri lainnya.
Contohnya adalah bila kita ingin membangun pembangkit tenaga listrik dan industri galangan kapal maka produknya sudah jelas dan hal tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kelangsungan suplai yang berkelanjutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News