"Kami ingin Permendag 64/2017 disempurnakan supaya tidak disalahgunakan lagi," kata Ketua Umum API Ade Sudradjat kepada Medcom.id, Senin, 7 Oktober 2019.
Peraturan Menteri Perdagangan tersebut berisi tentang tentang Ketentuan Impor TPT yang membagi pelaku usaha menjadi dua kelompok, yakni Kelompok A dan Kelompok B. Kelompok A merupakan kategori impor yang memerlukan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin), persetujuan impor dan kuota oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan laporan surveyor.
Sementara, Kelompok B merupakan kategori impor tekstil yang belum diproduksi di dalam negeri. Kelompok ini hanya memerlukan laporan surveyor tanpa perlu rekomendasi, persetujuan impor, dan kuota.
"Sekarang yang Kelompok B itu masuk ke A, jadi harusnya ada verifikasi ulang untuk HS tertentu," ungkap Ade.
Pengawasan sedemikian rupa dengan mensyaratkan kuota impor dan laporan surveyor pada TPT hulu idealnya juga diterapkan pada TPT hilir berupa garmen. Ketentuan untuk kelomlok yang hanya mensyaratkan laporan surveyor dan pelabuhan pun disinyalir jadi celah oknum tak bertanggung jawab.
"Kalau besar tidak boleh, yang boleh impor harusnya kelas kecil dan ada klasifikasi," ujar Ade.
Pada awal implementasi Permendag 64/2017, beberapa produk tekstil memang masih belum bisa diproduksi di dalam negeri. Namun, dalam perkembangannya, produk-produk tersebut saat ini sudah bisa diproduksi di Indonesia.
Ade menambahkan kehadiran regulasi tersebut sedianya bukan faktor utama penghambat industri TPT dalam negeri. Kebijakan impor dimungkinkan lantaran telah menjadi ketentuan di negara yang bergabung denngan World Trade Organization (WTO).
"Permendag itu memberikan asas keadilan kepada pelaku ekonomi yang tadinya hak impor ada di Angka Pengenal Impor untuk Produsen, sekarang menurut ketentuan WTO harus dibuka juga untuk importir umum. Nah ini dibuka importir umum tapi harus wajib diverifikasi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News