Menurut Asian Development Bank, investasi pertanian di Indonesia masih kebanyakan berasal dari kelompok petani sendiri, sementara nilai investasi swasta masih sangat rendah. Total investasi asing hanya 0,01 persen dari total investasi swasta yang dikucurkan untuk pertanian.
"Dengan semakin terbukanya Indonesia terhadap investasi dan sarana luar negeri, pertanian bisa memanfaatkan modal dan teknologi yang sudah ada untuk mendorong produktivitas dan efisiensi," kata Felippa dikutip dari Antara, Senin, 2 Maret 2020.
Menurut dia, peraturan yang selama ini berlaku dinilai tidak ramah terhadap masuknya investasi di sektor pertanian, salah satunya di subsektor hortikultura.
UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura di Pasal 33 dinilai membatasi penggunaan sarana hortikultura dari luar negeri dan mensyaratkan keharusan untuk mengutamakan sarana yang mengandung komponen hasil produksi dalam negeri.
Pasal 100 di Undang-Undang yang sama pun membatasi penanaman modal asing hanya untuk usaha besar hortikultura dengan jumlah modal paling besar 30 persen. Penanam modal asing juga wajib menempatkan dana di bank dalam negeri sebesar kepemilikan modalnya.
"Persyaratan dalam peraturan-peraturan ini tentunya membuat investor berpikir dua kali untuk masuk ke subsektor hortikultura Indonesia," kata Felippa.
Dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, peraturan-peraturan ini diganti dengan peraturan yang lebih ramah terhadap masuknya investasi. Pasal 34 RUU Cipta Kerja merevisi Undang Undang Hortikultura pasal 33 untuk mengundang sarana hortikultura dari dalam dan/atau luar negeri.
Selain itu, Pasal 100 kini menyatakan bahwa pemerintah mendorong penanam modal dalam usaha hortikultura. Hal serupa juga didapati di sektor perkebunan dan pertanian lebih umumnya.
Selain mengundang modal asing masuk, RUU Cipta Kerja juga mempermudah perizinan usaha yang sebelumnya harus melewati lapisan birokrasi yang berlipat-lipat, dari meminta rekomendasi Menteri Pertanian dulu untuk kemudian meminta izin Menteri Perdagangan. Kini, proses tersebut disederhanakan menjadi satu perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Selain memungkinkan masuknya investasi, masalah perbenihan juga dibahas dalam RUU tersebut. Felippa menjelaskan selama ini distribusi benih sangatlah dibatasi, sehingga petani seringkali kesusahan mengakses benih yang bermutu.
Pasal 63 dalam UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura membatasi pemasukan benih hanya ketika benih tersebut tidak dapat diproduksi dalam negeri atau jika kebutuhan dalam negeri belum tercukupi dan itu harus melalui proses perizinan yang rumit.
"Peraturan ini direvisi di RUU Omnibus Law Cipta Kerja sehingga proses pemasukan dan pengeluaran benih bisa semakin mudah," kata dia.
Pemasukan benih dan bibit di sektor peternakan juga dipermudah melalui Pasal 35 RUU Cipta Kerja yang merevisi Undang Undang 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (yang kemudian diubah dengan Undang Undang 41 Tahun 2014).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News