"Rencana impor ini merupakan bentuk ketidakseriusan dan ketidakmampuan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola garam secara nasional serta kurang maksimalnya pemerintah terhadap program revitaslisasi garam dalam negeri serta kurang dalam penguatan petani dan
industri garam lokal," keluh Ketua Umum HIPPI Suryani dalam siaran persnya, Selasa, 20 Maret 2018.
Pemerintah telah mengeluarkan izin impor garam sebesar 676 ribu ton untuk 25 perusahaan setelah sebelumnya telah melakukan impor garam awal tahun di Januari 2018. Impor garam ini akan dilakukan menjelang petani akan segera melakukan panen raya garam di April.
Dia mengatakan penetapan kuota impor ini karena tidak adanya sinkronisasi data kebutuhan impor antarkementerian terkait, di awal 2018 Kementerian Perekonomian menetapkan kuota impor 3,7 juta ton sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan sebesar 2,17 juta ton berdasarkan dengan kondisi lapangan.
Sementara Kementerian Perindustrian memiliki referensi data tersendiri terkait dengan kebutuhan industri di lapangan. Hal ini menunjukkan tidak maksimalnya koordinasi dalam kabinet Jokowi terkait garam.
"Dalam lima tahun ke depan pentingnya pemerintah membuat program revitalisasi garam untuk kebutuhan industry dan komsumsi, mendorong agar kebutuhan industri dapat dipenuhi oleh petani lokal sesuai dengan kualitas masing-masing industri agar tidak tersandera oleh kebutuhan impor," tutur alumni master MBA dari Maryland University, USA ini.
Dia pun menekankan pentingnya pemerintah mendorong BUMN bidang garam agar dapat menyerap hasil tambak garam petani serta membina petani garam agar dapat memenuhi kebutuhan garam industri.
Rencana Strategis
Indonesia harus segera menyiapkan solusi jangka panjang untuk memecahkan persoalan pasokan garam industri dan konsumsi. HIPPI mendorong pemerintah agar lebih fokus terhadap langkah bagaimana mencapai swasembada dan kedaulatan garam nasional dengan memberdayakan dan menguatkan petani lokal.
"Dalam rangka mengurangi ketergantungan impor garam, dibutuhkan kebijakan yang terintegrasi dan sistematis segera merealisasikan program revitalisasi industri garam untuk mendorong peningkatan teknologi produksi dan manajemen yang lebih baik," lanjut mantan Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) itu.
Kendala saat ini adalah lahan-lahan produksi secara perlahan mulai berkurang hal ini karena pemilik lahan berhenti beroperasi dan kemudian secara perlahan meninggalkan profesi sebagai petambak garam, akibat kuota yang besar setiap tahun para petambak garam lokal tidak dapat bersaing, banyak yang beralih profesi menjadi buruh kasar mereka menilai bertani garam dinilai sudah tidak lagi menguntungkan.
"Untuk itu, Pemerintah harus kembali membuka program perluasan lahan produksi garam," ujar dia.
Dia menambahkan tantangan berikutnya yang muncul, kurang maksimalnya pengelolaan produksi PT Garam Indonesia dalam menyerap garam rakyat. "Pemerintah seharusnya mendorong dan memperbaiki manajemen PT Garam Indonesia sebagai BUMN supaya hasil produksi garam di setiap daerah bisa terserap dengan menguatkan modal kerja PT Garam dan sinergi dengan pengusaha garam lainnya, selain itu, PT Garam juga harus memberikan insentif kepada petani lokal untuk meningkatkan produksi," lanjut dia.
Selain itu, selama ini persoalan utama garam industri di Indonesia adalah kadar Natrium Chlorida (NaCl) belum bisa mencapai sampai angka 97,4 persen, maka Pemerintah harus melibatkan ilmuwan, lembaga riset, dan juga perguruan tinggi di Indonesia untuk ikut terlibat dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Dalam melaksanakan solusi jangka menengah dan panjang, langkah yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan integrasi lahan dan program di satu area. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), untuk kebutuhan tersebut, BPPT menghitung bahwa lahan yang dibutuhkan minimal seluas 400 hektare dan bisa dilaksanakan hingga optimum di lahan 5.000 ha.
Di atas lahan tersebut dibuat proses yang terintegrasi proses produksi akan dilakukan di empat area dan meliputi area untuk penampungan air laut, area untuk penguapan atau evaporasi, area hasil evaporasi ditampung menjadi air tua, dan area rekristalisasi.
Dengan adanya konsep seperti itu, BPPT menyebut, Indonesia dapat melaksanakan industrialisasi pada komoditas garam untuk industri, farmasi, maupun konsumsi. Dengan konsep di atas, petambak garam tidak hanya akan mendapat peningkatan produktivitas, melainkan juga bisa mendapatkan kualitas garam lebih bagus sehingga dapat menghasilkan beragam jenis garam yang dibutuhkan oleh pasar sehingga masalah garam tidak selalu diselesaikan dengan impor atas krisis garam yang terjadi setiap tahun.
Harapannya semua pihak terkait dapat bekerja sama sehingga masalah garam tidak selalu diselesaikan dengan impor atas krisis garam yang terjadi setiap tahun dan pemerintah dan kementerian terkait memiliki semangat dan idealisme dalam melindungi dan mendorong produksi dalam negeri untuk mencapai swasembada dan kedaulatan garam nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News