Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, pada 2013-2014 rata-rata transaksi dalam valas sebesar USD6 miliar bahkan mencapai USD9 miliar. Dengan adanya regulasi itu, saat ini transaksi valas di dalam negeri hanya sebesar USD1,3 miliar.
"Ketika konsistensi, BI mengeluarkan regulasi kalau transaksi antara residen dengan residen harus dengan rupiah, dan dapat dukungan pemerintah, itu yang USD8 miliar itu turun menjadi USD1,3 miliar. Dan itu yang membuat Indonesia memiliki daya tahan ekonomi yang kuat," ujarnya di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis 13 April 2017.
Keberhasilan ini tak lepas dari upaya BI menggandeng banyak pihak termasuk kementerian yang membawahi berbagai sektor yang membutuhkan valas. Dengan begitu maka rupiah bisa menjadi alat pembayaran yang sah di dalam negeri.
"Rupiah harus jadi tuan rumah di negeri sendiri. Di Amerika latin banyak negara yang tidak punya currency sendiri karena semua sudah jadi nilai tukar asing, perbankan juga habis karena dikuasai perbankan asing. Jadi kita harus bangun kapabilitas kita," jelas dia.
Meski begitu, bank sentral tetap memberikan pengecualian bagi kegiatan usaha yang mengharuskan pembiayaan valas. Maka bank sentral berharap agar penggunaan valas di dalam negeri bisa perlahan dikurangi dengan menggantinya pada penggunaan rupiah.
"Komitmen Kementerian ESDM sejauh mungkin kalua sudah rupiah ya rupiah. Tapi kita berikan pengecualian untuk beberapa transaksi yang memang harus dolar, seperti PLN. Tapi kalau pinjaman sudah selesai ya kembali ke rupiah," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News