Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumsel Permana mengatakan, pemerintah daerah telah berupaya mengajak investor untuk menanamkan modal dengan membangun industri hilirasasi. Menurut Permana, pada umumnya investor ini mengurungkan niat lantaran Sumsel tidak memiliki pelabuhan untuk pintu perdagangan mengangkut barang ke pasar Eropa mengingat Pelabuhan Tanjung Api Api tak kunjung terealisasi.
"Jika melalui darat semisal melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta maka biaya logistik akan sangat mahal sekali," ujarnya di Palembang, seperti dikutip Kamis (12/2/2015).
Pada keadaan lain, dia menambahkan, perusahaan lokal yang telah berdiri di Sumsel pada era 1980-an justru tidak lagi beroperasi lantaran mengalihankan bisnis ke sektor lain atau berpindah tempat produksi ke Jawa.
Kondisi ini, lanjut dia, semakin diperparah iklim persaingan yang sedang berlangsung di pasar internasional. Produk olahan getah Sumsel mulai mendapatkan saingan baru yakni dari Vietnam, Myanmar dan Thailand dengan menawarkan produk berkualitas ekspor lebih baik.
Dia menerangkan, lantaran petani sebatas getah berbentuk bongkahan, maka yang melakukan penyempurnaan sebelum diekspor adalah pabrik pengolahan. "Pabrik pun hanya sebatas membuat Sir 5, Sir 10, dan Sir 20 (berbentuk
bongkahan yang sudah dipotong), sementara negara pesaing sudah membuat lembaran. Jelas yang dicari pasar adalah yang lembaran karena lebih mudah untuk mengolahnya jadi barang jadi," kata dia.
Permana mengatakan, keengganan untuk membuat produk turunan yang mendekati keinginan pasar ini juga menjadi pangkal persoalan mengapa harga karet di tingkat petani Sumsel terbilang rendah. Pemerintah telah menawarkan beragam solusi kepada petani, namun budaya yang berlangsung turun temurun dalam berkebun karet menjadi kendala utama. Berbagai forum edukasi pengolahan karet yang diperuntukkan kepada petani karet terbilang kurang mendapatkan respons positif.
"Biasa menghasilkan getah, jadi maunya getah terus. Mereka tidak mau memproses karena butuh waktu lama. Beda dengan jual getah bisa langsung dapat uang. Padahal jika tahu, harga jual getah dengan jual lembaran itu bisa berselisih dua kali lipat," ucapnya.
Selain terkendala kebiasaan petani, pemerintah juga mendapati kenyataan berkurangnya peran Koperasi Unit Desa di dalam masyarakat perkebunan. "Jika saja semua kompak dan percaya KUD, tentunya harga bisa dikendalikan
oleh petani. Coba saja, jika pabrik tidak dapat bahan baku tentunya tidak dapat beroperasi," kata dia.
Kini di tengah goncangan ekonomi yang melanda produk ekspor sepatutnya berbagai pihak memaknai keadaan ini sebagai pemicu untuk bangkit dari ketidakmandirian. Sudah saatnya, petani dan pemerintah saling bersatu padu untuk menaikkan derajat perkebunan karet Sumsel yang selama ini sebatas penyedia barang baku.
Petani diharapkan memperbaiki kualitas dengan menghasilkan produk olahan bermutu, sementara pemerintah menyediakan infastruktur pelabunan untuk mendorong munculnya investor agar masyarakat mendapatkan kehidupan
lebih baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News