Adapun B50 menjadi kelanjutan program B20 yang tengah diterapkan pemerintah sebagai upaya jangka panjang untuk menekan impor minyak, yang pada akhirnya berdampak pada membaiknya neraca transaksi berjalan.
"B50 baru kita coba dan hasilnya aman. Memang perlu variabel-variabel lain yang harus diuji lebih lanjut, tapi jelas konsumsinya lebih efisien dibandingkan solar, emisi keluarannya juga lebih rendah," ujar Komisaris Holding PT Perkebunan Nusantara (PTPN III) Muhammad Syakir dalam diskusi di Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Center, Rabu, 30 Januari 2019.
Syakir, yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan menambahkan, teknologi biodiesel bauran sawit ini telah dikaji sejak 1990. "Kita sudah melakukan penelitian sejak B10 sampai B100 juga sudah kita coba dari Bogor ke Malang. Jadi sudah beberapa lembaga penelitian mencoba, selebihnya riset harus ditindaklanjuti," kata dia.
Syakir melanjutkan penggunaan biodiesel cukup menjanjikan meski dari segi harga masih di atas solar. Namun, dengan produk samping bernilai ekonomi tinggi dan pemberian subsidi, pemanfaatan biodiesel bisa memberikan manfaat ekonomi yang cukup nyata, terutama dalam menekan impor minyak.
"Dengan program yang terus berkelanjutan, bukan tidak mungkin penggunaan B50 bisa dilaksanakan pada 2025," kata Syakir.
Sepanjang 2018, kebijakan B20 tercatat mencapai realisasi sebesar 86 persen. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menunjukkan penyaluran B20 pada tahun lalu sebesar 3,47 juta Kiloliter (KL) dari target penyaluran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) sebesar 4,04 juta kiloliter (kl).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah terus meningkatkan penggunaan B20 pada tahun ini. Hal ini dilakukan dengan konfigurasi sebanyak 29 titik serah, sehingga untuk 2019 pemerintah menetapkan target penyaluran FAME sebesar 6,2 juta kl.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News