Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudradjat mengatakan lebih dari 85 persen mesin di pabrik pengolah warna pada tekstil tersebut umurnya sudah lebih dari 30 tahun. Ongkos produksi pun dirasakan lebih tinggi lantaran perlu energi yang tidak sedikit.
Misalnya saja dalam pemakaian air, mesin pencelupan tua kapasitasnya10 banding satu antara air dan bahan baku kain. Belum lagi, bahan kimia yang dimasukkan juga lebih banyak ketimbang mesin modern yang rasio penggunaan airnya bisa 4,5:1.
"Kalau airnya banyak memanaskan air itu sendiri butuh energi yang banyak, begitu juga rasio bahan obat kimia yang dimasukkan harus banyak," kata Ade kepada Medcom.id, Senin, 7 Oktober 2019.
Selain tak efisien dalam pemakaian energi, sektor pencelupan juga mesti menghadapi biaya pengolahan limbahnya yang tinggi lantaran diwajibkan ramah lingkungan. Lebih banyak air dan bahan kimia yang digunakan artinya ongkos di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) juga banyak.
"Rasio air dan bahan kimia besar kemudian IPAL-nya juga harus banyak keluar uang. Energi lebih banyak setengah pengolahan juga setengah, pasti kalah lah dengan produk impor," ungkapnya.
Lebih lanjut, program restrukturisasi mesin yang dicanangkan Kementrian Perindustrian (Kemenperin) pun jadi angin segar yang diharapkan lebih progresif. Tiga tahun berjalan, penawaran diskon pembelian mesin baru juga telah dimanfaatkan 20 persen anggota API.
Ade mengharapkan pada tahun mendatang program restrukturisasi mesin ini diharapkan terus berlanjut. Insentif yang diberikan langsung pada teknis pengolahan pun disarankan fokus pada masalah paling krusial yakni pencelupan.
"Menurut hemat saya fokus dulu pencelupan, pencetakan, printing, dan finishing. Jangan dulu ke hulu seperti pemintalan, ke penenunan dan garmen itu jangan dulu," paparnya.
Ade meyakini industri pertekstilan Tanah Air bisa kembali bangkit dan bersaing di tingkat global. Sebab, kualitas produk tekstil Indonesia sejak lama sudah banyak diakui produsen fesyen dunia.
"Pencelupan ini titik lemah yang supaya segera direvitalisasi, kemudian jadi berwawasan lingkungan karena tidak terlalu memakai banyak air sehingga tingkat keberhasilan berdaya saing lebih besar," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News