Kakao -- FOTO: MI/Amiruddin
Kakao -- FOTO: MI/Amiruddin

Kejar Produksi 3x Lipat, Kemenperin Usul Revisi BK dan BM Kakao

Husen Miftahudin • 16 Januari 2015 18:34
medcom.id, Jakarta: Produksi kakao Indonesia merupakan nomor tiga dunia dengan total produksi pada 2013 sebanyak 410 ribu ton atau sekitar 10 persen dari total produksi dunia yang mencapai sekira 4,1 juta ton. Hal ini perlu mendapat lecutan, karena pada 2020 prediksi produksi kakao nasional akan mencapai 1,2 juta ton atau tiga kali lipat dari total produksi saat ini.
 
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Panggah Susanto, mengungkapkan, industri kakao Indonesia ke depannya akan memiliki peranan penting khususnya dalam perolehan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja.
 
Pada 2013, sebut dia, devisa yang disumbangkan dari komoditas kakao nasional mencapai USD1,15 miliar. Sedangkan pada 2014, sebanyak 19 perusahaan industri kakao dengan investasi sebesar Rp4,65 triliun mampu mempekerjakan sebanyak 5.800 orang.

Namun, aku Panggah, pengenaan bea masuk (BM) yang tinggi pada produk kakao olahan ke negara-negara tujuan ekspor ke Amerika Serikat dan Uni Eropa membuat kakao nasional melempem. Padahal negara-negara Afrika yang ingin memasukkan produk kakao ke negara Uni Eropa dan Amerika Serikat itu sendiri pun sama sekali tidak terkena bea masuk alias nol persen.
 
"Jadi kalau industri kakao nasional ekspor ke Eropa itu kena 7,7-9,6 persen. Sedangkan Pantai Gading itu dikenakan nol persen. Sementara untuk ekspor (bea keluar) kita dikenakan sebesar 5-15 persen," ucap Panggah, saat ditemui di kantor Kementerian Perindustrian, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (16/1/2015).
 
Maka itu, lanjut dia, pihaknya dalam lima tahun ke depan akan mengusulkan revisi BK biji kakao dari tarif progresif 5-15 persen menjadi 15 persen (flat) dan mengusulkan pengenaan BK untuk kakao liquir sebesar lima persen. Selain itu, pihaknya juga akan mengusulkan penurunan tarif bea masuk (BM) kakao olahan ke Uni Eropa dari tarif BM sebesar 7,7-9,6 persen menjadi nol persen.
 
"Maka itu kita meminta kepada Kementerian Perdagangan untuk mengajukan dan memperjuangkan ke Eropa agar bisa di-nol-kan juga seperti Afrika," pungkas Pangkah.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan