Sebelumnya, Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) yang melakukan pertemuan terbuka dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin, 15 Januari 2018 lalu mendapatkan 'angin segar' bahwa waktu untuk penggunaan alat tangkap ikan berupa cantrang diperpanjang hingga waktu yang tidak ditentukan.
Namun, Koordinator Humas ANNI Nanang el Ghazal mengatakan, para nelayan meminta adanya surat edaran tertulis dari pemerintah terkait izin penggunaan cantrang tersebut. Permintaan itu sejalan dengan ada tiga kapal nelayan yang ditangkap Polisi Air (Polair) di Pamekasan, Jawa Timur, meski izin sudah diberikan Presiden Jokowi.

Sumber: KKP
"Kami harapkan surat edaran tertulis karena ada tiga kapal di Pamekasan ditangkap oleh Polair," kata Nanang el Ghazal, saat dihubungi Medcom.id di Jakarta, Selasa, 23 Januari 2018.
Nanang el Ghazal menilai KKP bersama dengan akademisi hingga kini belum mampu membuktikan kerusakan ekosistem laut yang disebabkan oleh penggunaan cantrang. Sebab itu, pihaknya terus mendorong pemerintah bisa melegalkan izin penggunaan cantrang dalam waktu yang tidak ditentukan.

Sumber: KKP
Menurutnya KKP tak semestinya menerbitkan aturan pelarangan alat tangkap ikan seperti cantrang. Kementerian yang dipimpin Susi Pudjiastuti dinilainya hanya perlu memperkuat kebijakan terkait batasan wilayah penangkapan ikan dan ukuran jaring yang digunakan.
"Kami bikin kajian sendiri yang salah satunya dengan Partai Nasdem dan ternyata (cantrang) ramah terhadap lingkungan. Kalau ada yang salah bisa diatur, misal, wilayah penangkapan dan ukuran jaring itu enggak akan masalah bagi nelayan," tuturnya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menambahkan perpanjangan masa peralihan alat tangkap baru harus didasarkan pada kepentingan pengelolaan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan.

Sumber: KIARA
Sebab, izin cantrang hanya menguntungkan bagi kelompok nelayan besar sedangkan larangan itu tak akan berimbas besar bagi nelayan kecil atau nelayan tradisional. KKP harus melihat hal ini secara luas dan diharapkan ada keberpihakan terhadap para nelayan terutama nelayan kecil, tentu dengan tidak mengabaikan kelestarian lingkungan.
Berdasarkan pusat data dan informasi KIARA, sekitar 98,7 persen dari total nelayan Indonesia yang berjumlah 2,7 juta orang merupakan nelayan kecil. Nelayan Indonesia dengan kapal bekururan 10-30 GT hanya sebanyak 2.578 kapal sedangkan di bawah 10 GT berjumlah 3.198 kapal.

Sumber: KIARA
"Kami melihat ada wacana dorongan untuk memperbolehkan cantrang dalam tingkat nasional. Sedangkan 98 persen nelayan Indonesia adalah nelayan kecil. Jadi ini harus dipertanyakan untuk siapa pelarangan ini. Kami melihat dari perspektif nelayan tradisional," katanya, saat dihubungi Medcom.id di Jakarta, Selasa, 23 Januari 2018.
Selain itu, Susan menilai, adanya permasalahan dalam masa transisi peralihan alat tangkap juga belum merata. Aturan tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi alat tangkap yang dibutuhkan nelayan sehingga implementasi kebijakan masih belum mengakomodir kebutuhan.
"Saat ini Pekerjaan Rumah (PR) negara memerhatikan transisi ini bukan hanya soal permen larangan cantrang," imbuh dia.
Penggunaan Cantrang Diklaim Turunkan Volume Produksi Ikan Nasional
Di sisi lain, ANNI mengklaim, terjadi penurunan volume produksi ikan sejak KKP mengeluarkan larangan penggunaan cantrang. Bahkan, bahan baku untuk industri pengolahan ikan menurun sehingga banyak pabrik pengolahan ikan (Sumiri) ditutup. Kondisi ini tentu disayangkan dan perlu ada keberpihakan guna mendorong peningkatan kesejahteraan para nelayan.
"Bahan baku menurun, industri pengolahan untuk ikan menurun. Sebanyak 16 pabrik untuk pengolahan pakan tutup dan pengolahan ikan lain tutup karena kekurangan bahan baku," ungkap Koordinator Humas ANNI Nanang el Ghazal.

Sumber: KKP
Para nelayan besar yang biasa memperoleh pendapatan Rp5 juta-Rp6 juta, kini hanya mendapat Rp1 juta-Rp2 juta sejak beralih ke alat tangkap baru. Untuk kapal dengan kapasitas di atas 20 GT, satu nelayan harus membagi keuntungan dengan 10-20 nelayan lainnya. Sementara nelayan hanya mendapat 60 persen dan pemilik kapal memperoleh 40 persen dari keuntungan itu.
"Rata-rata sekali perjalanan satu nelayan ABK pada satu bulan bisa mendapatkan Rp5 juta-Rp6 juta. Setelah tidak menggunakan cantrang pendapatan nelayan berkurang drastis, ya bisa sebulan cuma Rp1 juta," katanya.
Tidak hanya itu, dia menambahkan, sebanyak 101 nelayan Tegal yang sudah beralih dari cantrang justru memiliki tunggakan utang di bank hingga Rp70,3 miliar. Pasalnya mereka harus mengganti kapal yang sesuai dengan alat tangkap yang dikeluarkan oleh KKP.
"Sudah 101 pemilik kapal dengan tunggakan utang di bank secara total Rp70,3 miliar. Di Rembang juga terjadi tapi saya belum dapat datanya," klaim dia.

Sumber: KKP
Namun demikian, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat jumlah produksi perikanan tangkap justru mengalami peningkatan. Pada 2012 jumlah produksi ikan hanya 5,4 juta ton, angka tersebut naik menjadi 6,2 juta ton pada 2015. Jumlah itu terus naik meski tak signifikan pada 2016 yang sebesar 6,3 juta ton.
"Kami mencatat tidak terjadi penurunan jumlah produksi ikan secara signifikan," kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati.
Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberikan waktu untuk nelayan beralih dari penggunaan alat tangkap cantrang. Meski demikian, Susi masih memperbolehkan kapal cantrang melaut dengan beberapa catatan, salah satunya tidak boleh ke luar Laut Jawa dan Pantura.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News