"Kami lihat inflasi terjaga, pertumbuhan ekonomi juga membaik, jadi redenominasi ini sudah cocok untuk dibahas," kata Agus, saat berbincang dengan para wartawan, usai buka puasa, seperti dikutip dari Antara, di Jakarta, Senin malam 29 Mei 2017.
Redenominasi merupakan penyederhanaan jumlah digit nol pada mata uang tanpa mengurangi nilai uang tersebut. Pernyataan Agus tersebut berbeda dengan pemikiran beberapa ekonom yang menilai aksi redenominasi cukup sensitif terhadap pergerakkan kondisi ekonomi.
Agus mengatakan, jika RUU terkait Redenominasi Rupiah atau RUU Perubahan Harga Rupiah jadi dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun ini maka penerapan redenominasi secara keseluruhan baru akan terjadi di 2022 atau 2024 karena memerlukan 5-7 tahun masa transisi.
Menurutnya, selama lima hingga tujuh tahun transisi itu akan terjadi berbagai tahapan dari sosialisasi, kemudian penarikan uang rupiah lama, peredaran uang rupiah baru dengan jumlah digit nol yang sudah berkurang, hingga pemberlakuan uang rupiah baru secara penuh setelah diredenominasi.
Mantan Menteri Keuangan tersebut menekankan redenominasi yang direncanakan BI dan pemerintah hanya penyederhanaan jumlah digit nol, tanpa mereduksi nilai uang tersebut. Dengan kata lain, redenominasi tersebut bukan aksi sanering atau pemotongan nilai uang yang pernah terjadi pada dekakde 1950-an dan menyebabkan penurunan daya beli masyarakat.
"Jadi yang perlu diingat adalah redenominasi ini bukan sanering. Ini sangat berbeda," tegasnya.
Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017, RUU Perubahan Harga Rupiah memang tidak diprioritaskan DPR. Namun Agus masih menaruh harapan jika RUU Perubahan Harga Rupiah tersebut dapat dibahas pada semester II-2017 oleh DPR.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News