"Mengabulkan sebagian permohonan pemohon," ungkap ketua majelis hakim konstitusi Anwar Usman membacakan amar putusan mahkamah di Gedung MK, Jakarta, kemarin, seperti dikutip dari Antara.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf c tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'termasuk dapat melakukan tindakan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (5) UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK)'.
Melalui putusan itu, LPS memiliki wewenang menghapus buku dan menghapus tagih aset piutang debitur bank apabila pengelolaan aset bank tersebut dalam likuidasi, baik sistemik maupun nonsistemik, terutama dalam keadaan krisis.
MK dalam pertimbangannya menyebutkan kewenangan LPS di UU LPS juga berlaku dalam UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Akan tetapi, aset yang dikelola LPS diatur hanya sebatas terkait dengan kekayaan negara dan adanya hak masyarakat di dalamnya.
Karena itu, LPS dianggap tidak memiliki kewenangan melakukan hak hapus buku dan hapus tagih jika hal itu jadi piutang yang dikelola perseorangan atau badan hukum, serta tak ada kaitannya dengan kekayaan negara.
"Dengan begitu, hak hapus tagih dan hapus buku oleh LPS bisa diberikan dalam keadaan normal sepanjang masih berkaitan dengan keadaan krisis dan dilaksanakan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (5) UU PPKSK," ujar hakim konstitusi Manahan Sitompul membacakan pertimbangan putusan MK.
Namun, MK menegaskan pelaksanaan kewenangan hapus buku dan hapus tagih oleh LPS itu harus dilakukan sangat hati-hati dan menganut asas transparansi serta prudent. "Tindakan hapus buku dan hapus tagih merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dan tidak boleh sembarangan," pungkas Manahan. (Media Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News