"Ada yang mengatakan Indonesia akan diserbu oleh produk impor, kenyataannya tidak ada tsunami produk impor walaupun telah diberlakukan liberalisasi perdagangan sejak 2010," kata Konsultan AEC Center Kemendag, Kris Sandhi Soekartawi, seperti dikutip dari Antara, Selasa (3/5/2016).
Menurutnya, sebelum MEA diberlakukan, sebagian masyarakat ketakutan awal 2016 akan banjir barang-barang dari ASEAN hingga memenuhi pasar, mal, dan supermarket menyebabkan barang dalam negeri tidak laku.
"Faktanya sejak 2010 telah diberlakukan pos tarif hingga nol persen namun tidak ada serbuan produk sebagaimana yang dikhawatirkan," katanya.
Kemudian ia menjelaskan mitos lain yang berkembang adalah Indonesia diserbu tenaga asing sehingga pabrik, kantor, kereta dan bus akan penuh dengan pekerja dari negara ASEAN menyebabkan warga lokal jadi pengangguran.
"Padahal tenaga kerja yang bebas hanya tingkat profesional hanya delapan profesi dan baru tiga yang berjalan yaitu ahli teknik, arsitek, dan pariwisata," lanjut dia.
Sementara data dari Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan terjadi penurunan tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia dari 77.307 pada 2011 menjadi 69.025 pada 2015.
Selanjutnya dia mengkhawatirkan dunia usaha ASEAN akan berada di setiap sudut jalan kota besar di Indonesia namun ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Akan tetapi, ia mengingatkan jika tidak dilakukan peningkatan daya saing maka mitos tersebut dapat saja menjadi kenyataan.
"Oleh sebab itu perlu dilakukan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha dan akademisi untuk meningkatkan daya saing pelaku usaha," sebut dia.
Ia menambahkan pelaku usaha di daerah harus memperluas jaringan dengan komunitas bisnis seperti Kadin dan lainnya serta memanfaatkan teknologi informasi.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kemendag, Tjahya Widayanti menyebutkan salah satu kendala UMKM menghadapi MEA adalah modal namun sudah diatasi dengan kredit usaha rakyat.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Sumbar, Asnawi Bahar mengatakan belum ada produk unggulan daerah itu yang memiliki daya saing guna menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.
"Dalam memasuki MEA perlu adanya produk-produk yang memang memiliki daya saing dengan kualitas standar internasional, namun hingga saat ini produk seperti itu belum ada di Sumbar," jelasnya.
Selama ini produk yang dimiliki Sumbar hanya dapat bertahan di daerah sendiri seperti rendang atau sanjai dan belum memiliki kemampuan bersaing di pasar internasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News