"Otomotif diyakini mampu bersaing, meski otomotif sedang lesu. Perhotelan, makanan kita juga siap, karena kita leading. Yang kita khawatiran sektor UKM yang bisa tergerus dengan negara lain di saat MEA nanti," ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Suryani SF Motik, dalam dialog 'Menjaga Ingatan: Ekonomi dan Politik 2015', di Gado-Gado Boplo Menteng, Jakarta, Sabtu (19/12/2015).
Dia menilai, sektor UKM seperti makanan dan restoran sama sekali tidak ada kesiapan dalam menyongsong era MEA. Hal itu terlihat jelas di mana sekarang ini restoran yang berasal dari luar negeri lebih banyak daripada yang dimiliki oleh orang Indonesia asli.
"Karena itulah kami perkirakan sektor UKM tidak bisa bersaing, sudah banyak terlihat," tegasnya.
Untuk menguatkan daya saing UKM di dalam negeri, lanjutnya, mau tidak mau pemerintah harus terjun langsung ke lapangan, seperti menurunkan suku bunga kredit ke sektor usaha. Hal itu perlu dilakukan lantaran suku bunga perbankan di Indonesia relatif paling tinggi di tingkat ASEAN.
"Jika suku bunga tidak diturunkan maka dunia usaha semakin sulit mengembangkan bisnisnya. Pada ujungnya daya saing industri di dalam negeri semakin melemah. Suku bunga di ASEAN kita paling mahal 14-15 persen. Pengusaha kecil bersyukur di akhir tahun KUR turun 12 persen dan tahun depan sembilan persen. Tapi KUR kan sampai (pinjaman) Rp500 juta. Coba bayangkan dengan Malaysia, bunganya rendah sekali," keluhnya.
Dalam hal ini, dirinya tidak hanya mempersoalkan tingkat suku bunga dalam meningkatkan daya saing. Pemerintah juga harus mendorong peningkatan keterampilan pekerja yang ada di Indonesia, seperti memberi pelatihan yang lebih tinggi ke Balai Latihan Kerja (BLK) yang berada di masing-masing daerah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News