"Sejak Indonesia merdeka 71 tahun lalu, dari 178 juta hektare tanah di negara kita, yang terdaftar baru 40 persen. Dari 40 persen yang terdaftar, baru 67 persen yang tersertifikat," ujar Staf Khusus Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Sugeng Suparwoto, dalam keterangan tertulis yang diterima Metrotvnews.com, Jumat (21/10/2016).
Untuk itu, pihaknya berupaya mengejar dan mempercepat proses sertifikasi tanah-tanah di Indonesia. "Dicanangkan dalam RPJMN oleh Presiden, pada 2025 seluruh tanah di Indonesia tersertifikasi," katanya.
Menurutnya, salah satu kendala lambannya proses sertifikasi tersebut karena keterbatasan jumlah juru ukur yang ada. Disebutkan, sampai saat ini hanya ada sekitar 2.000 juru ukur.
"Oleh karena itu, kita buka kesempatan untuk juru ukur swasta yang bersertifikat karena tanpa adanya juru ukur swasta, tidak akan mampu. Kita juga sudah MoU dengan perguruan tinggi untuk penyediaan juru ukur," tambahnya.
Dikatakan, minimnya jumlah tanah yang belum tersertifikat menjadi salah satu bukti bahwa tanah belum dapat memberikan dan berfungsi membangun sektor perekonomian masyarakat.
"Artinya, tanah sebagai fungsi ekonomi itu masih sangat jauh panggang dari api. Oleh karena itu kita akan beri sanksi petugas BPN yang mempersulit masyarakat membuat sertifikat," imbuhnya.
Apalagi, sambung dia, banyak potensi konflik yang terjadi karena permasalahan tanah. "Tanah sesuai dengan konstitusi seharusnya dikuasai negara untuk rakyat. Rakyat harus menjadi subjek yang dimakmurkan. Celakanya, tanah justru menjadi instrumen yang menciptakan kesenjangan karena banyak pengusaha dan perusahaan yang kuasai tanah secara luas," tuturnya.
Lebih lanjut dirinya menegaskan bahwa permasalahan pertanahan di Indonesia disebabkan karena minimnya lahan yang dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Pasalnya, kata dia, dalam UU Kehutanan disebutkan wilayah Indonesia yang masuk dalam kawasan hutan sebanyak 70 persen.
"Hanya 30 persen wilayah Indonesia yang dikelola untuk rakyat. Selebihnya tidak bisa diganggu-gugat fungsinya. Itu dikunci dalam UU Kehutanan," kata dia. Untuk itu, dia berharap ada evaluasi dan sinkronisasi antara UU Kehutanan dan UU Pokok Agraria.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News