"Sampai saat ini Amerika Serikat juga belum ratifikasi FCTC. Pemerintah harus jernih melihat sikap Amerika itu. Pemerintah harusnya mendesak Amerika ratifikasi, bukan sebaliknya ngotot meratifikasi, antarkementerian saja masih berbeda pendapat," tegas Guru Besar Hubungan Internasional, Hikmahanto Juwana, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/4/2014).
Menurutnya, harus diselediki negara mana yang memulai dan merancang FCTC. Apakah negara tersebut memiliki kepentingan agar masyarakat terhindar dari bahaya tembakau atau agar industri dalam negerinya tidak terganggu mengingat persaingan dari negara penghasil tembakau seperti Indonesia?
"Jangan sampai kedaulatan negara dikompromi dengan kepentingan negara lain," tegasnya.
Ia menilai, selama ini pemerintah cenderung naif dalam melihat perjanjian internasional, termasuk FCTC. Berpikir bahwa jika meratifikasi akan meningkatkan citra pemerintah di dunia internasional sekaligus masalah di dalam negeri langsung tuntas.
"Padahal perjanjian internasional, sering kali menjadi pengganti kolonialisme baru yang merugikan negara lain. Menciptakan ketergantungan ekonomi. FCTC ini kan dimunculkan didesak oleh negara maju," sambung Hikmahanto.
Lebih lanjut, dari sisi ekonomi, tenaga kerja, pendapatan negara, semua aturan FCTC sama sekali tidak berpihak pada Indonesia. "Jangan bermimpi dengan ratifikasi segala sesuatu akan lebih baik, tidak menjamin. Yang selama ini ada setelah ratifikasi tak ada tindak ada lanjutnya dari pemerintah," tegasnya.
Dengan ratifikasi, Indonesia akan dituntut dari waktu ke waktu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian internasional. Padahal, Indonesia memiliki kelemahan dalam menerjemahkan ketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. UN Convention on Anti Corruption yang telah diratifikasi Indonesia sejak 2006 hingga saat ini belum diterjemahkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
Ia mengingatkan, kejadian AS dan Australia menyadap percakapan penting pejabat Indonesia terkait dengan sengketa keberlangsungan pabrik rokok kretek menjadi bukti AS ingin menjatuhkan industri rokok kretek nasional.
Hal tersebut, terungkap setelah data penyadapan National Security Agency (NSA) alias Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) atas Biro Hukum Mayern Brown dibocorkan oleh mantan kontraktor NSA, Edward Snowden. (Rio)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News