"Meskipun perannya meningkat, namun NTP-Pr masih berada di bawah nilai 100 itu menunjukkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan petani dalam subsektor perkebunan lebih besar dari pendapatan yang diterima petani dari hasil perkebunannya," kata Kepala BPS Provinsi Bali Panasunan Siregar, seperti dikutip dari Antara, di Denpasar, Kamis (12/11/2015).
Ia mengatakan, secara umum kenaikan NTP subsektor perkebunan dipicu oleh naiknya indeks yang diterima petani (Lt) sebesar 0,53 persen. Sedangkan indeks yang dibayar petani (lb) mengalami kenaikan lebih rendah yakni 0,02 persen.
Beberapa komoditas perkebunan yang memberikan andil atas naiknya indeks yang diterima petani antara lain kelapa, kopi, dan cengkeh. Di sisi lain kenaikan pada indeks yang dibayar petani dipengaruhi oleh Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) sebesar 0,16 persen.
"Sementara dari sisi indeks konsumsi rumah tangga tercatat mengalami penurunan 0,01 persen," ujar Panasunan Siregar.
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bali I Dewa Made Buana Duwuran menambahkan, harga hasil perkebunan rakyat di Bali masih cukup stabil, meskipun terjadi lonjakan atau pengurangan relatif sedikit dan dalam waktu singkat kembali normal.
Harga hasil perkebunan yang menjadi mata dagangan antarpulau maupun yang dijual ke pasar ekspor umumnya stabil seperti kopi, kakao, mete, vanili dan cengkeh. Petani Bali harus tetap berbangga karena kopi jenis arabika yang tumbuh di kawasan wisata Kintamani memiliki sejumlah keunggulan dan telah mendapatkan sertifikat IG (Indikasi Geografis) pada 2014.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News