"Memang ada keluhan dari pengguna. Pertama dari PT KAI (Persero), kedua dari industri besar pertambangan yang menggunakan kendaraan besar. Karena mesin lama belum sesuai dengan biodiesel ramah lingkungan tersebut," tutur Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat 4 Agustus 2017.
Dia mengatakan, seharusnya terlebih dahulu dibuat riset dalam menjalankan kekuatan tiap mesin yang ada dalam program B20. "Harusnya dari semua pihak diundang untuk menentukan seberapa jauh bisa menyerap B20 ini," jelas Abadi.
Untuk penerapan teknologi baru, bilang dia, bisa diterapkan program B20. Karena, mesin baru bisa menyesuaikan dengan bahan bakar biodiesel.
Adapun kendala yang lain, lanjut dia, jika mesin lama dipaksakan menggunakan biodiesel, maka akan kehilangan garansi dari pabrik yang memproduksi. "Keadaan itu, bisa merugikan bagi penggunanya," ujar dia.
Pada saat ini penggunaan energi B20, masih dibicarakan oleh kementerian terkait, yaitu Kementerian Perhubungan dan Kementerian ESDM. Tujuannya, agar meraih jalan tengah bagi setiap mesin yang menyerap biodiesel, baik kendaraan lama maupun baru.
Program B20 yang dijalankan melalui Kementerian ESDM sebagai solusi energi terbarukan sudah menyerap 2,7 juta kiloliter (kl) biodiesel sawit di 2016. Program tersebut merupakan kewajiban dalam mencampurkan 20 persen biodiesel sawit di setiap minyak solar yang akan dijual ke publik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News