Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai, kebijakan yang dibuat pemerintah sudah cukup baik. Hanya saja, dalam pelaksanaan belum berjalan maksimal karena beberapa kendala. Misalnya, persoalan lahan dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
"Kalau masalah-masalah itu masih terus ada, insentif pajak yang ditawarkan pemerintah pun tidak akan mampu menarik banyak investor,” kata Pieter, dalam keterangan tertulis, Jumat, 8 November 2019.
Menurut dia, pemerintah harus serius mengatasi berbagai kendala yang terjadi, terutama terkait lahan. Kendala tersebut disebut sebagai salah satu kendala yang menghalangi investor dan mengganggu kegiatan investasi yang telah berjalan.
Pieter menyebutkan, banyak perusahaan yang berurusan dengan hukum karena terganjal persoalan lahan. Contoh, kasus yang menimpa Lotte Chemical Indonesia.
Perusahaan asal Korea Selatan yang tengah membangun pabrik di Cilegon, Banten, itu diganggu oknum yang mengaku memiliki hak pengelolaan (HPL) atas tanah tersebut. Akibatnya, pembangunan sempat dihentikan dan mengganggu investasi dari Lotte Chemical senilai Rp50 triliun.
“Harus segera ada jaminan dari pemerintah. Harus ada solusi persoalan lahan. Itu adalah masalah nasional, tapi saya lihat belum ada fokus penyelesaian ke sana,” tutur Pieter.
Selain itu, kendala lain yaitu sikap pemerintah daerah yang dinilai sewenang-wenang. Pieter mencontohkan kolaborasi antara Pemerintah Kota Bekasi dengan ormas yang mengelola lahan parkir toko ritel modern secara paksa.
“Kalau pemda sampai mendukung premanisme seperti itu, artinya sudah sangat parah. Mereka tidak punya visi bagaimana memajukan daerah, bagaimana menarik investasi,” ucapnya.
Pieter pun mendesak pemerintah pusat untuk turun tangan melakukan investigasi mendalam terkait persoalan tersebut. Ia meyakini praktik-praktik premanisme yang mengganggu investasi tidak hanya terjadi di satu daerah saja.
“Itu hanya satu contoh saja. Banyak pemda yang memang tidak bisa berhadapan dengan ormas. Ormas ya harus diberlakukan sebagai ormas, bukan preman,” tegas Pieter.
Akibat berbagai permasalahan tersebut, peringkat kemudahan investasi di Indonesia masih berada di posisi 73 dunia. Di ASEAN, Indonesia menempati peringkat ke-5 terendah.
Kepala Kajian Makro LPEM Fakultas Ekonomi UI Febrio N Kacaribu mengatakan pemerintah harus menjaga iklim investasi agar stabilitas pertumbuhan perekonomian dalam negeri terjaga.
Investasi pun, lanjutnya, tidak hanya terpaku pada asing. Investor dalam negeri harus didorong untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia demi menjaga stabilitas di tengah krisis global yang diprediksi terjadi.
"Yang tidak boleh dilupakan adalah merawat investor yang sudah masuk dan menanamkan investasinya. Sebab bila mereka batal berinvestasi, itu akan menjadikan kabar buruk bagi perekonomian Indonesia," kata Febrio.
Perbaikan iklim investasi amat diperlukan Indonesia pada 2020 demi menjaga stabilitas pertumbuhan perekonomian jangka menengah. Pertumbuhan investasi di atas enam persen merupakan sebuah keharusan untuk dicapai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News