"Yang paling berpengaruh (dari melemahnya rupiah) itu pelaku usaha yang sasarannya pasar domestik. Kalau yang tujuannya ekspor tidak terlalu ya," ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajad kepada Media Indonesia melalui sambungan telepon, Rabu (18/3/2015).
Tercatat 5.200 industri tekstil yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia. Dari jumlah tersebut, 40 persen di antaranya merupakan industri yang berfokus melayani kebutuhan domestik. Sedangkan 60 persen sisanya memiliki pangsa pasar ekspor.
Menurut Ade, 40 persen industri dengan pangsa pasar domestik sangat terpukul akibat melemahnya rupiah. Sebab mayoritas industri tersebut memiliki kandungan impor yang terbilang tinggi di atas 50 persen. Seperti pasokan bahan baku, bahan baku penolong, pelembut pakaian dan pembersih bakteri yang biasa diimpor dari Jepang, Eropa dan Korea.
"Meskipun mereka menjual produknya pakai rupiah, tapi kan bahan bakunya banyak juga yang diimpor," tukas dia.
Terlebih, lanjut Ade, daya beli masyarakat terhadap tekstil yang termasuk kebutuhan sekunder, kian menurun. Pelaku usaha akhirnya tidak berani menaikkan harga. Sebab itu sama saja mematikan daya beli masyarakat yang sudah melemah.
"Susah kalau harga mau dinaikkan. Masyarakat beli kebutuhan primer seperti beras saja sudah ketar-ketir. Ini kalau harga tekstil naik, bisa-bisa tidak ada yang beli," cetus Ade.
Di lain sisi, kenaikan tarif listrik sebagai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), juga berimbas pada industri pertekstilan, baik usaha dengan pasar domestik maupun pelaku usaha ekspor. Dia menyebut penaikan tarif listrik tidak lepas dari naiknya harga minyak dunia termasuk minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP).
Sebagaimana diketahui, ada tiga komponen yang menentukan fluktuasi tarif listrik, yaitu kurs rupiah terhadap dolar, inflasi dan ICP. Penaikan tarif listrik, kata dia, praktis berdampak pada melemahnya daya saing dengan industri tekstil luar negeri. Sebagai contoh Ade menyebut Vietnam yang merupakan pesaing Indonesia, memiliki tarif listrik untuk industri sebesar 6 sen per KWH. Adapun Indonesia tarifnya 11 sen per KWH.
"Bagi industri, tarif listrik naik itu pengaruhnya juga besar sekali. Komponen cost energy besarnya 15-27 persen, belum lagi bagi industri yang ekspor, mereka harus terkena bea masuk 12-31 persen khususnya ke negara prime seperti Amerika dan Eropa. Ironis menurut saya, Indonesia katanya lumbung energi. Harusnya untuk persoalan listrik bisa diatasi kalau energy policy-nya benar. Energi itu kan tulang punggung suatu negara," ucapnya.
Agar tidak semakin terpuruk, tutur Ade, rata-rata pelaku usaha domestik mulai melakukan upaya efisensi. Seperti mengurangi jam kerja, mengurangi jumlah tenaga kerja bahkan mengurangi jumlah produksi barang lantaran takut terjadi penumpukan barang di gudang akibat tidak laku.
Di samping itu, mau tidak mau banyak pelaku usaha yang didorong melakukan ekspor. Berdasarkan informasi yang diterimanya sejauh ini, dari 40 persen industri dengan pasar domestik, 5-10 persen di antaranya sudah mulai mengekspor hasil produksi.
"Mau tidak mau semua pabrik harus mendorong ekspor. Karena menunggu buying masyarakat naik itu sesuatu yang tidak pasti," tukas dia.
Hanya saja, Ade mengakui masih banyak industri atau pelaku usaha yang sebenarnya belum siap melakukan ekspor. Oleh karena itu, pihaknya kini gencar memberikan pelatihan ihwal edukasi tata cara ekspor. Terlebih ada standardisasi kualitas barang yang layak diekspor.
"Mereka kita dorong ekspor, cuma tetap ada kendala. Karena untuk produksi barang ekspor sendiri standar kualitasnya berbeda. Sedangkan mereka selama ini tahunya standar domestik. Kalau untuk ekspor ke Vietnam atau Thailand saja, kualitas lokal masih bisa lah. Tapi kalau ekspor ke negara prime (Eropa dan Amerika) kan standardnya beda," paparnya.
Dia pun mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan kalangan industrialis. Misalnya dalam hal pembuatan kebijakan. Mulai dari mengurai persoalan tarif listrik hingga aturan kepabeanan. "Buat aturan yang selaras, jangan aneh-aneh. Pelaku usaha juga ingin punya masa depan yang cerah," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id