Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan kinerja perdagangan pada semester I-2018 kembali defisit dan tekanannya masih berlanjut hingga paruh kedua. Defisit perdagangan pada semester I-2018 tercatat USD1,02 miliar atau lebih buruk dari semester pertama 2017 yang mengalami defisit USD7,67 miliar.
"Pertumbuhan ekspor keseluruhan tidak mampu mengimbangi lonjakan pertumbuhan impor," katanya dalam Midyear Review 2018 Ekonomi Global dan Domestik, di Hongkong Kafe, Jakarta, Selasa, 31 Juli 2018.
Faisal mengungkapkan defisit perdagangan juga diperparah dengan tekanan depresiasi nilai mata uang rupiah terhadap dolar sebesar 4,1 persen hingga 23 Juli 2018. Hal ini diperparah dengan masih tingginya tingkat ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor. Tercatat impor barang konsumsi tumbuh pesat 20,82 persen atau jauh lebih tinggi dibanding semester I-2017 yang mencapai 9,96 persen.
"Karena tingkat ketergantungan bahan baku impor yang tinggi, pelemahan rupiah menjadi sangat berpengaruh terhadap kenaikan biaya produksi yang membebani industri manufaktur dalam negeri," tuturnya.
Menurutnya tekanan terhadap nilai tukar mata uang rupiah berpotensi berlanjut apabila perang dagang di negara-negara mitra utama khususnya, Amerika Serikat dan Tiongkok terus mengalami eskalasi. Sebab kinerja perdagangan Indonesia dengan Tiongkok maupun Amerika Serikat sepanjang semester pertama 2018 memperlihatkan pelemahan.
Defisit perdagangan Indonesia-Tiongkok mencapai USD8,27 miliar, lebih besar dibanding defisit pada semester I-2017 yang mencapai USD6,61 miliar. Sementara surplus perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat menyempit dari USD4,70 miliar (semester I-2017) menjadi USD4,12 miliar (semester I-2018).
"Penyempitan surplus perdagangan dengan AS berpotensi berlanjut apabila fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang diterima Indonesia dari AS dicabut," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News