Data statistik menyebutkan, neraca perdagangan sektor non migas antara Indonesia dengan Jepang pada periode Januari hingga Oktober 2014, terus mengalami defisit. Meskipun defisit tersebut turun jika dibandingkan periode yang sama, tetap saja hal itu mencekik neraca perdagangan Indonesia ke Jepang.
Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Dirjen KPI Kemendag), Bachrul Chairi, menyebutkan, neraca perdagangan Indonesia ke Jepang pada periode Januari-Oktober 2014 sebesar (minus) USD2,43 miliar. Turun sekitar 11 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai sebesar (minus) USD2,70 miliar.
"Ternyata kita impor dari Jepang untuk barang konsumsi hanya empat persen. Sedangkan sisanya 96 persen, terdiri dari barang baku penolong dan barang modal," ujar Bachrul, saat media briefing di kantor Kemendag, Jalan MI Ridwan Rais Nomor 5, Jakarta Pusat, Jumat (30/1/2015).
Sebenarnya, ungkap dia, Indonesia berada dalam posisi yang menguntungkan karena memiliki banyak keunggulan ekspor seperti elektronik. Namun sayangnya, kandungan yang terdapat dalam elektronik tersebut harus mengimpor dari Jepang agar dapat memproduksi elektronik secara utuh.
"Dari total ekspor kita, elektronik itu hampir 8 persen. Tetapi, sebanyak 67 persen yang diekspor itu kandungannya impor. Jadi, persentase kandungan yang kita impor terus kita ekspor kembali itu cukup tinggi," papar dia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, keadaan yang sama pada produksi automotif Indonesia. Memang, Indonesia berhasil mengekspor sebanyak 200 ribu kendaraan dengan nilai sebesar USD4,3 miliar. Namun, aku dia, 45 persen komponen automotif tersebut merupakan bahan baku impor.
Ia mengungkapkan, impor ini harus dilakukan agar Indonesia bisa mengekspor. "Impor ini wajib kita lakukan, karena di Indonesia sendiri belum bisa memproduksi bahan baku tersebut," papar Bachrul.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News