Sekjen Institut Otomotif Indonesia Yanuarto Widihandono mengungkapkan, otomotif menjadi salah satu industri yang dinilai bakal keteteran jika Indonesia bergabung dengan TPP. Alasannya, daya saing industri otomotif Indonesia di mata anggota-anggota TPP masih lemah.
"Kalau kita masuk ke TPP, maka tingkat competitiveness kita lemah, hanya 0,23 persen. Berbeda dengan Thailand yang jika masuk TPP daya saingnya masuk kategori strong, yakni di angka (plus) 0,49 persen," ujar Yanuarto dalam Focus Group Discussion Forwin di kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (1/6/2016).
.png)
Data daya kompetitif dari Institute Otomotif Indonesia (IOI)
Dia menjelaskan, sektor industri otomotif Indonesia lebih banyak impor sehingga melemahkan daya saing. Pasokan produksi kendaraan dalam negeri lemah di tingkat tier dua (material/bahan baku) dan tier tiga (proses) sehingga terpaksa harus mendatangkan komponen yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri.
"Kita masih lemah di tier dua dan tiga. Padahal itu bisa menyerap tenaga kerja. Industri otomotif kita bakal keteteran kalau masuk TPP. Maka itu kita terlebih dahulu harus menguasai teknologi industrinya dulu dengan dukungan dari kebijakan pemerintah," paparnya.
Lemahnya daya saing Indonesia di industri otomotif juga bakal memengaruhi pertumbuhan ekonomi di sisi perdagangan. Menurut Yunarto, produksi otomotif bakal sulit berkembang karena rendahnya penanaman modal di sektor ini.
%20%20%20%20as.png)
Data daya kompetitif dari Institute Otomotif Indonesia (IOI)
"Dampaknya pelemahan daya saing ini bisa saja nantinya investor lebih memilih untuk mencari peluang ke negara lain. Karena tidak ada investasi, kan sulit juga bagi produksi dan teknologi berkembang," papar Yunarto.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati sependapat dengan Yunarto. Keikutsertaan TPP bagi Indonesia tidak akan berdampak signifikan bagi neraca perdagangan.
"Saya lihat, kita seperti cuma ikutan-ikutan saja, ada kepanikan karena tetangga kita Malaysia, Vietnam, dan lain-lainnya ikut, tapi tak kita perhitungkan manfaatnya," ujarnya.
Menurut Enny, sektor otomotif Indonesia memiliki pangsa impor yang tinggi bagi negara-negara anggota TPP. Jika bergabung, keterpurukan Indonesia akan berlipat ganda karena hanya menjadi penonton dalam perdagangan di TPP.
"Selama ini kita menjadi sumber bahan baku yang murah, dengan support bahan baku yang murah. 97 persen impor komoditas, standardisasi yang jauh tertinggal, kita hanya akan jadi penonton saja," pungkas Enny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News