Petani rumput laut menjemur rumput laut setelah dipanen. (FOTO: Hafidz Mubarak A)
Petani rumput laut menjemur rumput laut setelah dipanen. (FOTO: Hafidz Mubarak A)

Rumput Laut tak Layak Bahan Pangan, RI Berpotensi Rugi USD140,6 Juta

Husen Miftahudin • 09 Agustus 2016 14:22
medcom.id, Jakarta: Rumput laut sebagai salah satu komoditas andalan hasil kelautan Indonesia terancam ekspornya ke pasar luar negeri, khususnya pasar Amerika Serikat (AS). Hal ini disebabkan rencana delisting (dikeluarkan) produk rumput laut dari daftar bahan pangan organik Indonesia di AS. Produk rumput laut dinilai tidak lagi layak memenuhi kriteria bahan pangan organik.
 
"Pemberlakuan delisting berpotensi menurunkan ekspor komoditas rumput laut Indonesia ke AS yang pada 2015 mendekati angka USD1 juta. Hal yang perlu lebih diwaspadai adalah perkembangan ini dapat menjadi preseden bagi negara tujuan ekspor rumput laut lainnya seperti Uni Eropa untuk juga melakukan hal yang sama," ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Dody Edward melalui keterangan tertulis, Jakarta, Selasa (9/8/2016).
 
Indonesia bahkan berpotensi mengalami kerugian hingga USD160,4 juta apabila semua pasar tujuan ekspor memberlakukan hal yang sama seperti AS. Indonesia merupakan produsen utama rumput laut di dunia serta menyerap banyak tenaga kerja di daerah pesisir dan pulau-pulau terluar Indonesia. Selama ini rumput laut menjadi bahan baku carrageenan dan agar-agar.

Rumput Laut tak Layak Bahan Pangan, RI Berpotensi Rugi USD140,6 Juta
Data ekspor rumput laut Indonesia
 
Rencana delisting produk rumput laut dari daftar bahan pangan organik tersebut dipicu petisi Joanne K. Tobacman, M.D. (Tobacman) dari University of Illinois, Chicago, pada Juni 2008 kepada US Food and Drug Administration (FDA). Isinya melarang penggunaan carrageenan sebagai bahan tambahan makanan yang terbuat dari rumput laut.
 
Berdasarkan penelitian Tobacman, ditengarai carrageenan dapat menyebabkan peradangan/inflamation yang memicu kanker. Namun, petisi tersebut ditolak US FDA pada Juni 2008.
 
Kemudian, petisi Tobacman ini diikuti publikasi LSM Cornucopia Institute dari AS pada Maret 2013. LSM ini mendorong publik meminta US National Organic Standards Board (NOSB) agar mengeluarkan carrageenan dari daftar bahan pangan organik.
 
"Rencananya, pada November 2016 US NOSB akan menentukan apakah carrageenan tetap akan masuk pada National List of Allowed and Prohibited Substances yang diperbolehkan dalam makanan organik atau tidak, setelah sebelumnya mendapat masukan dari berbagai pihak," tutur Dody.
 
Saat ini, konsumsi pangan organik di dunia menunjukkan tren pertumbuhan karena didorong isu-isu kesehatan yang memicu meningkatnya nilai perdagangan produk organik. Apabila produk rumput laut dikeluarkan dari daftar bahan pangan organik, maka hal itu akan merugikan Indonesia. Selama ini, Indonesia merupakan pemasok utama dunia untuk komoditas rumput laut dengan pangsa pasar 41 persen pada 2013.
 
Dody menegaskan, saat ini Direktorat Pengamanan Perdagangan Kemendag secara aktif memantau perkembangan rencana delisting terhadap produk rumput laut tersebut. "Kami harapkan kerja sama dari Kementerian/Lembaga terkait, asosiasi dan akademisi guna membahas langkah-langkah yang dapat membatalkan rencana delisting produk rumput laut tersebut," harap dia.
 
Selain itu, Dody meminta terus dilakukan pembinaan kepada pelaku usaha produk kelautan Indonesia untuk menjaga kualitas rumput laut sehingga menghasilkan mutu yang baik sebagai bahan pangan organik. "Dengan begitu, ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional terjaga keberlangsungannya," tutup Dody.
(HUS)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan