Menurut dia, hal ini dibuktikan dari output atau penjualan industri tekstil di dalam negeri setiap tahun merosot. Hal ini terjadi akibat gempuran produk impor dari negara lain.
Dirinya mencatat penjualan produk tekstil di 2010 sebesar USD19,85 miliar, USD25,21 miliar pada 2011, lalu 2012 mencapai USD22,85 miliar dan menurun menjadi USD20,56 miliar di 2013 dan USD18,34 miliar di 2014.
"Produksi dalam negeri lebih diisi produk impor, dan kita justru melakukan perdagangan bebas dengan musuh kita Tiongkok. Karena mereka produsen garmen dan tekstil juga yang mau menciptakan lapangan kerja buat satu miliar penduduknya," terang Ade di Jakarta Pusat, Selasa, 28 Juli 2015.
Ade berharap, Pemerintah bisa lebih kreatif dan pandai dalam menjalin kerja sama perdagangan bebas dengan AS dan Eropa. Akibatnya, sambung Ade, Indonesia tersalip Vietnam yang lebih dulu menerapkan kerja sama tersebut.
"Selama ini kita enggak pernah memiliki perdagangan bebas dengan AS dan Eropa. Vietnam yang sudah punya industri garmen sejak 2000 dan kerja sama AS serta Eropa berhasil menyusul kita dengan ekspor dua kali lipat. Kita enggak bekerja cerdik, bekerjanya bodoh," tegas Ade.
Data Ade menunjukkan, pemakaian atau daya beli masyarakat Indonesia terhadap produk tekstil kurang dari enam kilogram (kg) per kapita. Jauh dari Eropa yang mencatatkan 48 kg per kapita. Sementara Malaysia, pemakaian produk tekstilnya delapan kg per kapita dan Vietnam 7,5 kg per kapita.
"Daya beli masyarakat kita juga rendah, karena lebih banyak yang menganggur daripada bekerja," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id