Hal itu antara lain karena Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bertekad menghentikan penyelundupan bibit lobster, dan memulihkan sumber daya kelautan serta perikanan kawasan perairan Indonesia guna meningkatkan ekspor sektor perikanan di Tanah Air. "Penyelundupan bibit lobster masih banyak terjadi," kata Susi Pudjiastuti di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Untuk itu, ujar dia, langkah yang akan dilakukan antara lain adalah menyurati duta besar sejumlah negara tetangga seperti Vietnam dan Singapura yang disinyalemen menjadi tempat penerimaan bibit lobster dari Indonesia, agar tidak lagi menerima pengiriman ekspor bibit lobster tersebut.
Sebagaimana diketahui, Pasal 3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1/Permen-KP/2015, tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan menyatakan bahwa penangkapan lobster, kepiting dan rajungan dapat dilakukan dengan ukuran yakni panjang karapas lebih dari delapan centimeter untuk lobster, kepiting lebar karapas lebih dari 15 centimeter, dan rajungan dengan ukuran karapas lebih dari 10 centimeter.
Sementara banyak nelayan seperti ribuan penangkap lobster di Lombok bagian selatan yang lebih banyak menangkap benih lobster di bawah ukuran delapan centimeter sesuai dengan permintaan eksportir. Karena itu, Menteri Kelautan dan Perikanan juga meminta kepada para nelayan di Indonesia agar bersabar dengan tidak menangkap lobster yang masih dalam bentuk bibit.
Selain itu, Susi juga menerima kabar bahwa pihaknya bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan telah berhasil mengamankan 13 kontainer berisi ikan dan udang beku di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Sebanyak 13 kontainer tersebut yang diduga berasal dari berbagai daerah di Tanah Air itu, rencananya bakal diselundupkan ke sejumlah negara tetangga di kawasan Asia Tenggara. Sebelumnya, Menteri Susi juga mengatakan ingin menyontoh kebijakan yang dikeluarkan Australia terkait penangkapan lobster sebagai upaya melestarikan sumber daya laut di kawasan perairan Indonesia.
"Program (pembatasan perdagangan sejumlah komoditas termasuk lobster) tidak ada maksud mempersulit kehidupan para nelayan dan pembudidaya," ucap Susi Pudjiastuti saat rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI.
Menurut dia, pembatasan itu dilakukan karena belajar dari sejumlah negara lain yang menerapkannya dan hasilnya bukannya perikanan menjadi mundur, tetapi hasilnya menjadi luar biasa. Menteri Susi menyontohkan Australia, yang saat penangkapan lobster dilakukan tanpa hambatan termasuk lobster betina, jumlah penangkapannya hanya sebesar 8.000 ton.
Namun, menurut dia, setelah Australia mengurangi masa tangkap menjadi tiga bulan dan dilarang menangkap betina, justru produksi lobster dilaporkan meningkat hingga 88.000 ton. Daerah sejumlah pemerintahan daerah juga telah menggodok autaran agar selaras dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 1/2015 tersebut, seperti Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat sedang merancang Peraturan Gubernur tentang Pembesaran Benih Lobster hasil tangkapan di perairan laut dengan ukuran di bawah ketentuan yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat (NTB) Aminollah di Mataram, Selasa (23/6), mengatakan pihaknya bersama pimpinan dan anggota Komisi II DPRD NTB sudah membahas rancangan peraturan gubernur (Pergub) tersebut sebagai salah satu solusi kebijakan larangan ekspor benih lobster di bawah ukuran karapas delapan centimeter.
Selain dari sisi aturan, sejumlah pihak seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu juga telah memprogramkan perairan Pulau Tikus yang berjarak 10 mil laut dari Kota Bengkulu sebagai lokasi pembesaran lobster bekerja sama dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia setempat.
"Tahap awal ada percontohan dengan menggunakan 24 keramba jaring untuk pembesaran lobster," ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu Rinaldi di Bengkulu, Jumat (26/6).
Ia mengatakan program itu sebagai tindak lanjut terbitnya Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015. Lobster yang biasa ditangkap nelayan di daerah itu berbobot 100 gram, sedangkan dalam keputusan pemerintah dengan ukuran kerapas delapan centimeter memiliki bobot 200 gram.
"Karena itu perlu pembesaran untuk mencapai ukuran yang memenuhi standar jual dan ekspor," ucapnya dan menambahkan, dengan sistem pembesaran tersebut, lobster yang masih kecil lalu dibesarkan selama 40 hari di keramba itu sebelum dijual ke luar kota.
Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Bengkulu Romi Faislah mengharapkan percontohan pembesaran lobster itu ditularkan ke kelompok nelayan lainnya. "Nelayan membutuhkan transfer teknologi pembesaran dan modal untuk membeli jaring apung," imbuhnya.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu menyebutkan produksi lobster Bengkulu dalam tujuh tahun terakhir menurun drastis. Pada 2007 produksi per hari mencapai satu ton, sedangkan saat ini hanya 150 kilogram per hari. KKP sendiri mengeluarkan larangan itu agar sumber daya lobster Indonesia dapat segera pulih karena saat ini data yang resmi tercatat terkait ekspor lobster dilaporkan relatif menurun beberapa tahun terakhir.
"Jumlah lobster yang diekspor turun dari 10 tahun lalu sekitar 6.000 ton sekarang 300 ton," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam dialog tentang pangan di Jakarta, Senin (22/6).
Menurut dia, pihaknya mensinyalir dan menemukan banyaknya bibit lobster yang diselundupkan dari berbagai daerah di Tanah Air ke sejumlah negara termasuk negara tetangga. Padahal, Menteri Susi menegaskan bahwa Indonesia bertekad untuk menjadi penghasil ekspor komoditas kelautan dan perikanan terbesar nomor satu di ASEAN.
Dengan menyorot lobster yang kerap dikenal sebagai "makanan mewah" di masyarakat Indonesia itu, diharapkan dapat membuat impian sebagai penghasil ekspor terbesar di kawasan Asia Tenggara itu juga bisa tercapai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News