Dalam aksinya, AMTB membawa sejumlah papan bergambar tokoh wayang yang berbentuk gugunungan (ikon pewayangan) sebagai simbol bahwa budaya itu lebih tinggi. Mereka juga membawa bermacam-macam jenis tembakau, rokok, bunga serta buah-buahan.
"Gugunungan dengan tulisan di belakangnya berupa pesan moral. Kegelisahan kami atas nasib saudara-saudara kami para petani tembakau di seluruh Indonesia. Mulai dari Garut, Sumedang, Nagreg, Temanggung, Madura, Lombok, dan wilayah lainnya," kata penggerak Kebudayaan, Ki Bambang Sumantri, seperti dikutip dari keterangannya, Kamis, 26 September 2019.
"Perda itu kan peraturan daerah, ya hakekatnya mengatur. Bukan menjadi melarang merokok. Ini sudah terlalu jauh," tambah Bambang Sumantri.
Menurut Sumantri tembakau adalah warisan budaya. "Tembakau warisan dari leluhur kita. Sarat dengan kearifan lokal. Tembakau juga terkait dengan hajat hidup orang banyak. Mulai dari petani tembakau, pelinting rokok, hingga SPG rokok,” jelasnya seraya menyebut tembakau, dan ngabako adalah bagian tak terpisahkan dari tadisi budaya seluruh suku bangsa di Nusantara.
Karenanya, ia menilai, melarang dan mengharamkan produk-produk hasil tembakau adalah sesuatu kebijakan yang kebablasan. "Diatur boleh. Kan namanya juga kawasan tanpa rokok. Berarti ada dong kawasan untuk bisa merokok. Coba, lebih bijak dan melihat secara menyeluruh," kata Sumantri.
Sumantri menambahkan rokok dan tembakau adalah produk legal. Ada pajak dan cukai tembakau yang dibayarkan kepada Negara. "Konon katanya ada dana bagi hasil yang diterima kota dan kabupaten di Indonesia dari cukai tembakau. Kontribusinya untuk APBN juga signifikan," ucapnya.
Adapun tujuan aksi teatrikal ini, lanjut Ki Sumantri adalah untuk menegaskan bahwa warga Bogor tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, dan penyusunan Perda KTR. Konsekuensinya adalah hak warga (perokok) ditiadakan, tidak ada tempat khusus untuk merokok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News