"Daulat lahan itu basisnya ada di desa,dimana petani yang harus berdaulat terhadap lahannya. Mengapa? Karena dari merekalah alih fungsi itu terjadi. Merekalah pengambil keputusan terdepan yang tidak dapat diintervensi, kalau mereka mengambil keputusan tidak mengalihfungsikan lahannya," kata Sumardjo kepada Metrotv, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Misalnya di Bojonegoro, sambung dia, ada satu desa yang semua petaninya berdaulat mengatakan tidak ada alih fungsi, kemudian ditetapkan dalam peraturan desa (perdes).
"Jadi, daulat lahan ini basisnya dari desa, dari perwilayahan desa, mana yang didedikasikan untuk lahan pangan, mana yang bukan. Beberapa desa sudah mulai. Kami sedang gali terus. Karena kalau tidak, selama ini (regulasi tata ruang wilayah) hirarki dari atas, seolah-olah semuanya bisa turun dari bumi. Paling (aturannya) tidak sampai tingkat kabupaten," ucapnya.
Padahal, lanjutnya, Undang-Undangnya, misalnya sudah ditetapkan, yang di dalamnya juga memuat sanksi atas pelanggaran UU tersebut, tapi pemerintah daerah tersebut tak kunjung menyusun rencana tata ruang wilayahnya (RTRW), atau dimundurkan implementasinya.
Pada kesempatan yang sama, Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum (PU) M Basuki Hadimuljono mengatakan, dari 398 kabupaten yang ada di Indonesia, sekitar 93 diantaranya sudah memiliki rencana tata ruang wilayah, termasuk di dalamnya sudah ada pengelompokan kawasan budidaya pertanian.
"RTRW ini merupakan instrumen kami untuk mengendalikan. Jadi, penyusunan RTRW bukan top-down, melainkan pasti dari bawah, dari desa," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News