Holding perkebunan dan holding semen sebagai contohnya. Sebelum PT Perkebunan Nusantara (PTPN) digabung dalam holding, mereka masih meraup untung hingga Rp250 miliar.
"2016 lalu holding perkebunan rugi Rp2 trilun, padahal sebelum di-holding untung Rp250 miliar. Tak hanya rugi, utang holding perkebunan juga meningkat menjadi Rp60,2 triliun pada 2016," seru Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo kala membeberkan bukti-bukti 'nasib' holding perusahaan BUMN terdahulu di Jakarta, Sabtu, 9 Desember 2017.
Secara operasi, holding perkebunan juga merosot. Salah satu indikatornya adalah produksi gula nasional yang sebelum holding mencapai 2,5 juta ton dengan impor gula sebanyak 2,2 juta ton.
"Saat ini produksi gula bukannya meningkat malah menurun. 2016 produksi gula nasional kita hanya 2,2 juta ton dengan impor meningkat jadi tiga juta ton," papar dia.
Setali tiga uang dengan nasib holding semen. Pada 2012 penguasaan pasar domestik atau market share BUMN semen mencapai 48 persen, sayang, usai di-holding malah menukik drastis karena hanya tersisa 21 persen.
"Kami mempertanyakan, apa sebenarnya manfaat pemerintah membentuk holding BUMN? Karena BUMN yang ada saat ini sudah di-holding bukannya membaik kinerjanya, tapi malah terpuruk," ketus Bambang.
Maka itu dia meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri BUMN Rini Soemarno untuk meninjau ulang holding BUMN, baik yang sudah terbentuk maupun yang akan dibentuk.
"Kita mengingatkan Presiden Joko Widodo, jangan sampai salah memutuskan pembentukan holding BUMN ini," harapnya.
Rencananya Kementerian BUMN ingin membentuk enam holding company yakni holding pertambangan, migas, jasa keuangan, dan tiga sektor lainnya yang masih digodok. Holding pertambangan sudah matang, kini holding sektor minyak dan gas (migas) yang tengah digodok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News