Amir mengatakan wacana biaya tambahan setiap melakukan top up e-money itu kontradiktif dengan semangat Bank Indonesia yang mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).
"Tentu dengan ini kita sudah berencana mengundang Gubernur BI untuk kita bicarakan apa yang menjadi dasar sehingga BI akan menerapkan biaya top up untuk penggunaan e-money ini," kata Amir, dalam Primetime News, Selasa 20 September 2017.
Menurut Amir, aturan biaya tambahan setiap kali isi ulang uang elektronik akan membebani masyarakat. Terlebih misalnya masyarakat menengah ke bawah yang hanya mampu mengisi ulang uang elektronik sebatas Rp50 ribu atau Rp100 ribu saja.
Mungkin akan berbeda jika yang mengisi ulang adalah masyarakat dengan strata ekonomi menengah keatas. Mereka mungkin mampu melakukan isi ulang sesekali dengan jumlah yang lebih banyak.
"Kalau setiap top up kena charge sekitar Rp1.500-Rp2.000 kan itu kena 4 persen. Buat perbankan mungkin enggak terasa tetapi untuk masyarakat itu terasa meskipun kecil," kata Amir.
Karenanya, Amir berharap dengan diskusi yang akan dilakukan nanti dengan Bank Indonesia, pemerintah bisa menemukan solusi terbaik untuk berbagai pihak. Jika perlu pembebanan biaya tambahan BI perlu tahu kira-kira lapisan masyarakat mana yang bisa dibebankan dan mana yang harus dibebaskan.
"Tentu harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat jika memang pemerintah ingin memberlakukan aturan itu," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id