"Kelangkaan garam industri ini sebuah pelajaran penting bagi pemerintah untuk selalu membuat kebijakan yang melihat kondisi yang akan datang dan tepat pada akar permasalahan," kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Selasa 1 Agustus 2017.
Menurut dia, pemerintah seharusnya sudah bisa memperkirakan bakal adanya kelangkaan sehingga sudah menyiapkan stok garam industri dengan membangun infrastruktur produksi. Nailul Huda juga menegaskan agar impor tidak selalu dijadikan sebagai solusi instan dan satu-satunya upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan kebijakan pangan di Tanah Air.
Sebelumnya, impor garam yang sekarang dilonggarkan dalam rangka mengatasi kelangkaan komoditas tersebut di Tanah Air seharusnya tidak dijadikan sebagai prioritas utama untuk mencukupi kebutuhan garam.
"Pembukaan keran impor yang terjadi sejauh ini harus dihentikan. Apalagi pemerintah kembali menargetkan produksi garam nasional sebesar 3,2 juta ton pada 2017 dan peningkatan kesejahteraan petambak garam dengan dukungan APBN sebesar Rp9,2 triliun. Hal ini tertuang di dalam Nota Keuangan APBN 2017," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim.
Menurut Abdul Halim, buruknya kinerja di bidang pergaraman berpangkal terkait kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta PT Garam, yang tidak berhasil mendorong produksi garam serta meningkatkan kesejahteraan petambak garam.
Dia mengingatkan produksi garam pada 2016 hanya sebesar 118.056 ton atau setara 3,7 persen dari 3,2 juta ton yang menjadi target pemerintah pada 2016.
"Agar hal serupa tidak terulang kembali, pemerintah mesti memperbaiki kinerjanya di bidang pergaraman dan lebih mengedepankan semangat gotong-royong demi tercapainya target swasembada dan meningkatnya kesejahteraan 3 juta petambak garam di Indonesia," paparnya.
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mencatat pemerintah lebih mengutamakan keran impor ketimbang melakukan penyerapan terhadap garam rakyat untuk memenuhi kebutuhan garam nasional selama 2010-2016, karena pada periode tersebut, sekitar 80 persen kebutuhan dalam negeri didatangkan dari sejumlah negara, seperti Australia, India, Jerman, Denmark, dan Singapura.
Sebelumnya, Wakil Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Amirullah Setya Hardi berharap kebijakan impor garam yang akan ditempuh pemerintah tidak dinilai sebagai solusi akhir dalam mengatasi kelangkaan komoditas itu di lapangan.
"Impor tidak ada masalah untuk menutup kelangkaan. Namun perlu dilanjutkan dengan solusi jangka panjang dengan mendorong nilai tambah produksi petani garam," kata Amirullah di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat 28 Juli.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News