Di antaranya, harga gas industri yang masih tinggi dan gempuran produk impor luar negeri menambah semakin terpuruknya industri. Selain itu, minimnya regulasi pemerintah tentang produk dalam negeri dan produk impor masih sangat rendah.
Tercatat, sekitar 300 lebih merek Tiongkok telah mendapat lisensi Standar Nasional Indonesia (SNI). Sedangkan merek lokal yang telah mendapatkan SNI baru sekitar 60 sampai 78 merek.
"Ini terlihat bagaimana pemerintah begitu mudah memasukkan produk impor tanpa ada pemeriksaan lebih mendalam terkait standar tersebut,” ujar Ketua Dewan Pembina Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) Hendrata Atmoko, saat dikonfirmasi di Surabaya, Kamis (29/9/2016).
Menurut Hendrata, kondisi tersebut jauh jika dibanding dengan negara Malaysia. Meski barang impor yang masuk ke Malaysia mengantongi sertifikat standar nasional, Malaysia tetap memeriksa kembali.
"Tidak seperti di sini (Indonesia) kalau sudah mengantongi SNI langsung dapat diedarkan saja tanpa ada pemeriksaan lagi," tambah Hendrata.
Tak hanya itu, dari segi harga juga terdapat perbedaan tiga kali lipat, antara produk Tiongkok dan Indonesia. Produk Tiongkok sekitar Rp70.000 sampai Rp80.000 produk, sedangkan produk di Indonesia sekitar Rp110.000 per meter persegi.
Lain halnya dengan segi kualitas. Menurut dia, barang dalam negeri kualitasnya tetap lebih bagus dibanding negara lain. Misalnya seperti kandungan gas emisi masih tinggi bagi keramik dan granit produksi Tiongkok.
"Industri keramik dan granit sebenarnya sangat tinggi kebutuhannya, apalagi saat ini pembangunan infrastruktur sedang gencar, sayang BUMN masih banyak yang memilih untuk menggunakan keramik dengan harga murah, padahal sebenarnya mereka harus mendukung produk dalam negeri," jelasnya.
Selain Tiongkok, negara lain yang juga mematikan pasar industri keramik Indonesia adalah Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Semakin banyaknya produk impor keramik dan granit ini, kata dia, akan menimbulkan efek domino. Saat ini, sebagian besar pabrik okeramik di Indonesia mulai mengurangi kapasitas produksinya.
Kapasitas produksi pabrik keramik mencapai 800 ribu meter persegi, saat ini hanya sekitar Rp400 hingga Rp500 ribu meter persegi, atau mengalami penurunan hampir 30 sampai 40 persen. Selain itu, penyerapan tenaga kerja mulai berkurang yang menimbulkan pengangguran. Begitu pula dengan industri kertas karton yang juga berkurang.
Sedangkan harga gas industri yang saat ini juga masih tinggi. Yakni sekitar USD9,1 per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU). Atau menyumbang 40 persen dari ongkos produksi. Padahal, harga gas industri di ASEAN sudah di bawah USD5 per MMBTU.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News